Disease Info

Polisitemia Vera

Pendahuluan dan Fakta

Polisitemia vera (PV) dalam sistem klasifikasi WHO termasuk kelompok neoplasma mieloproliferatif; kelompok tersebut juga meliputi trombositemia esensial (ET), mielofibrosis primer (PMF), dan prefibrotik PMF. Polisitemia adalah keadaan meningkatnya kadar sel darah merah yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit yang terjadi akibat menurunnya volume plasma tanpa disertai peningkatan jumlah sel darah merah disebut polisitemia relatif.

Patofisiologi

Polisitemia vera merupakan neoplasma mieloproliferatif kronik dengan kromosom Philadelphia negatif yang menyebabkan gangguan klonal pada mieloproliferasi di sumsum tulang belakang. Proliferasi sel mieloid digantikan oleh proses proliferasi monoklonal abnormal yang menyebabkan produksi berlebih sel darah merah pada PV, produksi berlebih trombosit pada trombositosis esensial, dan fibrosis sumsum tulang belakang pada mielofibrosis primer. Pada tahun 2005, peneliti menemukan adanya mutasi somatik pada gen Janus kinase 2 (JAK2).6 Gen JAK2 memberi instruksi untuk membuat protein yang berperan dalam proliferasi sel.6 Protein ini memiliki peran penting dalam mengontrol produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit pada sel punca hematopoietik di dalam sumsum tulang belakang.7 Mutasi gen JAK2 yang paling sering berkaitan dengan neoplasma mieloproliferatif berada di ekson 14 JAK2. Mutasi di ekson 14 ini disebut JAK2V617F. JAK2V617F dapat ditemukan pada lebih dari 90% PV, serta 50-60% di ET dan PMF.6 Sebagian kecil pasien PV mengalami mutasi JAK2 di ekson 12.8 Mutasi JAK2V617F menyebabkan ketidakstabilan genetik pada ekspresi gen dengan memicu perubahan pada struktur kromatin dan dengan mengurangi respons apoptosis pada kerusakan DNA.9 Terjadinya mutasi pada JAK2 menyebabkan hipersensitivitas eritropoietin yang berakibat pada peningkatan produksi sel darah merah 

Secara alami polisitemia vera cenderung berkembang menjadi mielofibrosis, disebut mielofibrosis pasca-polisitemia vera (PPVMF). 10 Transformasi ini terjadi pada 25% pasien PV dan menurunkan harapan hidup. Tidak ada faktor risiko evolusi PV menjadi PPV-MF. Pada PPV-MF dapat ditemukan peningkatan JAK2V617F seperti halnya pada PV, dan sel CD34+ di darah tepi.

Gejala Klinis dan Komplikasi

Gejala klinis PV dapat berupa splenomegali derajat ringan sampai sedang, diikuti mudah lelah, pruritus, tanda-tanda hiperviskositas seperti perdarahan pada kulit dan mukosa, gangguan penglihatan serta defisit neurologis fokal. Selain itu, juga muncul gejala mikrovaskular seperti nyeri kepala, pusing berputar, gangguan penglihatan, parestesia, eritromelalgia. Eritromelalgia merupakan sindrom nyeri berulang pada ekstremitas distal, kulit menjadi eritematosus dan hangat, disebabkan hiperperfusi jaringan. Pada 40% penderita menunjukkan gejala pruritus akuagenik yang ditandai dengan gatal dan rasa terbakar pada kulit terutama setelah kontak dengan air tanpa terlihat perubahan pada kulit.

Gejala trombosis tampak pada 33% penderita PV berupa stroke, infark miokard, emboli pulmonal, atau deep vein thrombosis. Kejadian trombogenesis erat kaitannya dengan mutasi pada JAK2; mutasi ini tidak hanya meningkatkan produksi eritrosit, namun juga meningkatkan produksi dan kinerja trombosit sehingga mudah terjadi trombosis. Perdarahan dijumpai pada 25% penderita disebabkan disfungsi trombosit. Disfungsi trombosit tidak hanya terjadi di PV, namun juga pada pasien trombositemia esensial, dengan mayoritas penderita mengalami sindrom von Willebrand didapat dan penurunan jumlah reseptor glikoprotein trombosit. Perdarahan juga dapat diperparah dengan penggunaan aspirin.

Diagnosis

Diagnosis awal didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Pada anamnesis perlu diketahui riwayat penyakit tumor atau keganasan, gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular, riwayat keluarga pernah menderita penyakit yang berhubungan dengan neoplasma mieloproliferatif seperti polisitemia vera, trombositemia esensial, atau mielofibrosis primer. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan splenomegali dan hepatomegali, ruddy cyanosis (pembengkakan mukosa dan kulit disertai sianosis), conjunctival plethora, dan skin plethora (penumpukan cairan dan darah di konjungtiva dan mukosa).

Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai peningkatan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan massa sel darah merah. Sesuai kriteria WHO 2016, hemoglobin meningkat jika lebih dari 16,5 g/dL pada pria dan 16 g/dL pada wanita. Hematokrit meningkat jika lebih dari 49% pada pria dan lebih dari 48% pada wanita. Peningkatan juga terjadi pada massa sel darah merah sebanyak 25% di atas nilai rata-rata. Kadar serum eritropoietin di bawah normal juga dapat membantu diagnosis dan menjadi kriteria minor dalam kriteria diagnosis PV menurut WHO.

Aspirasi sumsum tulang belakang juga membantu diagnosis, terutama untuk memprediksi terjadinya mielofibrosis, serta berguna untuk membedakan PV dari trombositemia esensial yang disebabkan mutasi JAK2.

Diagnosis polisitemia vera membutuhkan 3 kriteria mayor, atau 2 kriteria mayor pertama ditambah dengan kriteria minor. Biopsi sumsum tulang tidak diperlukan apabila terus-menerus terjadi eritrositosis absolut: Hb >18,5 g/dL pada pria (hematokrit 55,5%) atau >16,5 g/dL pada wanita (hematokrit 49,5%) dan jika terdapat kriteria mutasi nomor 3 ditambah kriteria minor. Namun, mielofibrosis (MF) hanya dapat dideteksi dengan biopsi sumsum tulang; hiperseluleritas dapat memprediksi progresivitas yang lebih cepat untuk menjadi MF (MF pasca-PV), sehingga biopsi sumsum tulang harus dilakukan jika dicurigai mielofibrosis pasca-polisitemia vera.

Tatalaksana dan Perawatan

Terapi PV saat ini tidak bisa mencegah evolusi alami penyakit seperti mielofibrosis pasca- PV, tetapi dapat mengurangi risiko tromboemboli dan perdarahan, didasarkan pada klasifikasi faktor risiko.1 Klasifikasi faktor risiko penderita PV berperan penting dalam penentuan tatalaksana. 

Terapi awal adalah plebotomi dan pemberian aspirin pada semua pasien baik laki-laki maupun perempuan tanpa memperhatikan klasifikasi faktor risiko. Plebotomi dilakukan hingga hematokrit di bawah angka 45%, dan aspirin diberikan dengan dosis 40 – 100 mg sehari sekali. Pada penderita PV risiko rendah dengan gejala mikrovaskuler tidak terkontrol dengan aspirin sekali sehari, dosis aspirin ditingkatkan menjadi dua kali sehari. Dosis ini juga diberikan pada pasien PV risiko rendah dengan gejala kardiovaskuler seperti hipertensi, atau muncul leukositosis, karena leukositosis meningkatkan risiko trombosis terutama pada pasien dengan hematokrit tidak terkontrol.

Penderita risiko tinggi dapat diberi obat sitoreduktif berupa hidroksiurea sebagai lini pertama dengan dosis awal 500 mg dua kali sehari.15 Pada pasien dengan riwayat trombosis arteri, aspirin diberikan dua kali sehari. Bila ditemukan riwayat trombosis vena, perlu ditambahkan antikoagulan sistemik. Jika terjadi intoleransi atau resistensi terhadap hidroksiurea, perlu dipikirkan pemberian obat lini kedua, yaitu pegylated interferon α, busulfan, dan ruxolutinib.



Referensi:

Wijaya S. Diagnosis dan tatalaksana polisitemia vera. Cermin Dunia Kedokteran 2020;286:47(5):346-50.