Gagal Jantung
Pendahuluan dan Fakta
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh. Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju ataupun negara berkembang termasuk Indonesia.
Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. Menurut studi yang dilakukan Framingham, insidens tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari 3 pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada usia 80 – 89 tahun, sementara wanita memiliki insidens gagal jantung yang relatif lebih rendah dibanding pada laki–laki (wanita sepertiga lebih rendah).
Patofisiologi
Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang bersifat kompleks, dapat berakibat dari gangguan pada fungsi miokard (fungsi sistolik dan diastolik), penyakit katup ataupun perikard, atau hal-hal yang dapat membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya retensi cairan, biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, dispnea, dan cepat lelah. Siklus ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohumoral yang awalnya berfungsi sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan sistem Frank–Starling, tetapi justru menyebabkan penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi jantung.
Gejala Klinis dan Komplikasi
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimtomatik. Gejala klinis dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen. Faktor presipitasi yang sering memicu terjadinya gangguan fungsi jantung adalah infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis, dan endokarditis infektif.
Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks di mana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Gejala dan tanda gagal jantung, berdasarkkan ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008:
Gejala khas gagal jantung: Sesak napas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan, edema tungkai
DAN
Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipnea, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.
DAN
Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat, kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.
Sedangkan menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012, meliputi gejala dan tanda yang ada pada gagal jantung yaitu:
Gejala:
Tipikal
• Sesak napas
• Ortopnea
• Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe
• Toleransi aktivitas yang berkurang
• Cepat lelah
• Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang Tipikal
• Batuk di malam hari/dini hari
• Mengi
• Berat badan bertambah > 2 kg/ minggu
• Berat badan turun
(gagal jantung stadium lanjut)
• Kembung/begah
• Nafsu makan menurun
• Perasaan bingung
(terutama pasien lanjut usia)
• Depresi
• Berdebar
• Pingsan
Tanda:
Spesifik
• Peningkatan JVP
• Refluks hepatojugular
• Suara jantung S3 (gallop)
• Apex jantung bergeser ke lateral
• Murmur jantung
Kurang Tipikal
• Edema perifer
• Krepitasi pulmonal
• Suara pekak di basal paru pada saat perkusi
• Takikardia
• Nadi ireguler
• Nafas cepat
• Hepatomegali
• Asites
• Kaheksia
Diagnosis
Simtom/gejala yang lebih spesifik jarang sekali bermanifestasi terutama pada pasien dengan gejala ringan, oleh karenanya, gejala menjadi kurang sensitif sebagai landasan uji diagnostik. Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah, sedangkan pada pasien dengan fraksi ejeksi normal, uji diagnostik menjadi kurang sensitif.
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).
Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak napas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasonografi jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler, dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), glukosa, tes fungsi hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai gambaran klinis. Gangguan hematologi atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diberikan terapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/ atau ACE-I (angiotensin converting enzyme inhibitor), ARB (angiotensin receptor blocker), ARNI (angiotensin receptor nephrilysin inhibitor), atau antagonis aldosteron.
Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien, serta mengidentifikasi pasien-pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respons peningkatan tekanan dinding ventrikel. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinis disertai dengan dugaan sindrom koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering terjadi pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
Tatalaksana dan Perawatan
A. Tatalaksana Non-Farmakologi
1. Manajemen Perawatan Mandiri
2. Ketaatan pasien berobat
3. Pemantauan berat badan mandiri
4. Asupan cairan
5. Pengurangan berat badan
6. Kehilangan berat badan tanpa rencana
7. Latihan fisik
8. Aktvitas seksual
B. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung. Selain itu, penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang menyertai.
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 % kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
2. Penyekat Receptor-8
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat 8 harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %. Penyekat 8 memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan mortalitas.
3. Antagonis Aldoseteron
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi c 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III- IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan hidup.
4. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri c40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan penyekat 8 dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
5. Angiotensi Receptor – Neprilysin Inhibitor (ARNI) = Sacubitril/ valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB, penyekat 8, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I / ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan kombinasi molekuler valsartan- sacubitril.
6. Ivabradine. Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal If di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus.
7. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri c 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACE-I/ARB/ ARNI (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
8. Digoxin, pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoxin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat 8) lebih diutamakan.
9. Diuretik, diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi atau retensi.
C. Terapi Farmakologis pada HFPEF (Heart Failure with Preserved Ejection Fraction)
Sampai saat ini belum ada terapi yang terbukti secara khusus dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan HFPEF. Diuretik digunakan untuk mengatasi retensi cairan serta mengatasi keluhan sesak napas. Terapi iskemia miokard dan hipertensi yang adekuat sangat penting dalam tatalaksana kelainan ini, termasuk tatalaksana pengaturan laju nadi, terutama pada pasien dengan fibrilasi atrial.
D. Terapi Alat Non-Bedah pada HFREF (Heart Failure with Reduced Ejection Fraction)
Sampai saat ini, ICD (Implantable cardioverter- deƒbrillator) dan CRT (cardiac resynchronization therapy) merupakan alat yang direkomendasikan pada gagal jantung lanjut (advanced heart failure) simtomatik yang sudah mendapatkan terapi farmakologi gagal jantung secara optimal.
Referensi:
PERKI. Pedoman tatalaksana gagal jantung. 2nd Ed. [Internet]. 2020 [cited 2021 Aug 25]. Available from: https://inaheart.org/wp-content/uploads/2021/08/Pedoman_Tatalaksana_Gagal_Jantung_2020.pdf