Disease Info

Vertigo

Pendahuluan dan Fakta

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu “vertere” yang berarti berputar, dan “igo” yang mempunyai arti kondisi. Vertigo merupakan ilusi dari gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, perasaan lingkungan sekitar kita dirasakan berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linier ataupun miring, namun gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci dari adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala dari kelainan labirin.

Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala-gejala dari gangguan sistemik lainnya, misalnya obat, hipotensi, penyakit endokrin, dsb. Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang umum terjadi yang merupakan akibat perasaan disorientasi, yang biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap lingkungannya. Dizziness dan pusing sendiri mempunyai empat sub-tipe, meliputi: vertigo, dis-ekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologik

Patofisiologi

Etiologi dari vertigo mungkin disebabkan oleh adanya abnormalitas dari organ-organ vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Labirin merupakan organ untuk ekuilibrium yang terdiri dari 3 canalis semisirkuler, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta utriculus dan saculus yang berhubungan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi vertikal.

Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nucleus vestibularis pada batang otak dan selanjutnya menuju fasciculus medialis bagian cranial musculus oculomotorius dan selanjutnya meninggalkan traktus vestibulospinalis rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh. Selanjutnya serebelum menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara respons okulovestibuler dan postur tubuh. Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi dari refleks okulovestibuler dan intesitas nistagmus akibat rangsangan perputaran tubuh dan rangsangan kalori pada daerah labirin.

Refleks okulovestibuler bertanggungjawab terhadap fiksasi mata terhadap objek stasioner, sedangkan kepala dan badan pada saat bergerak. Nistagmus merupakan gerakan bola mata yang terlihat sebagai respons terhadap rangsangan labirin, serta jalur vestibuler retrokohlear, ataupun jalur vestibulo-kohlear sentral.

Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi sentral, oleh karena itu secara umum vertigo dibedakan menjadi vertigo perifer dan vertigo sentral. Jika tidak berhubungan dengan gerakan, kemungkinan vertigo disebabkan oleh gangguan sistem vestibuler perifer yang meliputi hampir 85% dari kasus.

Penggunaan istilah perifer berimplikasi bahwa kelainan ataupun gangguan ini dapat terjadi baik pada end-organ utrikulus maupun kanalis semisirkularis ataupun pada saraf perifer. Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah organ pons, medulla, atau serebelum. Vertigo ini hanya sekitar 20% - 25% dari kasus vertigo, namun gejala gangguan keseimbangan ataupun dis-ekulibrium dapat terjadi pada 50% dari kasus vertigo.

Penyebab vertigo sentral inipun cukup bervariasi, di antaranya: iskemik ataupun infark batang otak sebagai penyebab terbanyak, proses demielinisasi misalnya: multiple sclerosis, demielinisasi pasca infeksi, dsb, tumor pada daerah serebelopontine, neuropati kranialis, serta tumor daerah batang otak, serta penyebab lainnya.

Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan gejala vertigo, penggunaan obat-obatan seperti: antikonvulsan, antihipertensi, alkohol, analgesik, tranquilizer dapat menyebabkan terjadinya keluhan vertigo. Gangguan kardiovaskuler hipotensi, presinkop baik yang kardiak maupun yang non-kardiak, penyakit infeksi, penyakit endokrin DM, hipotiroidisme, vaskulitis, serta penyakit sistemik lainnya seperti: anemia, polisitemia, sarkoidosis, dan sebagainya dapat menyebabkan timbulnya keluhan vertigo.

Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik perifer maupun sentral, di antaranya neurotransmiter kolinergik, monoaminergik, dan glutaminergik. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan manipulasi dari neurotransmitter ini, sehingga gejala-gejala vertigo dapat ditekan.

Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut saraf vestibuler, glutamat ini mempengaruhi kompensasi vestibuler melalui reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan vertigo dengan mempengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler bagian sentral. Reseptor histaminergik berlokasi pada pre- dan post-sinaps pada sel-sel vestibuler.

Gejala Klinis dan Komplikasi

Adanya gejala-gejala aura dan neurologis perlu diperhatikan, misalnya gejala-gejala apakah ada gangguan hilangnya pendengaran, perasaan penuh, perasaan ditekan, ataupun berdenging. Jika terdapat keluhan tinitus apakah hal tersebut terjadi terus-menerus, ataukan intermiten, ataukah pulsatif. Apakah ada gejala-gejala gangguan batang otak ataupun kortikal misalnya: nyeri kepala, gangguan visual, kejang ataupun hilang kesadaran.

Diagnosis

Pemeriksaan fisik, difokuskan pada evaluasi neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat modalitas motorik dan sensorik, cara berjalan. Penilaian terhadap fungsi serebelum, yaitu dengan menilai fiksasi gerakan bola mata, adanya nistagmus horizontal menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral.

Pemeriksaan kanalis auditorius, membran timpani juga harus dilakukan untuk menilai ataupun untuk melihat adanya infeksi telinga tengah, malformasi ataupun adanya kolesteatom, dan fistula perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran. Tes keseimbangan

Pemeriksaan klinis baik yang dilakukan unit gawat darurat atau di ruang pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi tentang keluhan vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk melihat dan menilai gangguan keseimbangan di antaranya:

a. Tes Romberg. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain tandem. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup, ini merupakan skrining yang sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki dalam keadaan mata tertutup maka dianggap normal.

b. Tes melangkah di tempat stepping test. Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak dari tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi gangguan sistem vestibuler. Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula maka dapat diperkirakan penderita mengalami gangguan sistem vestibuler.

c. Tes salah tunjuk past-pointing. Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk penderita diperintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian penderita diminta untuk menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi vertikal dan kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler akan didapatkan salah tunjuk.

d. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike. Untuk menimbulkan vertigo pada penderita dengan gangguan sistem vertibuler dapat dilakukan manuver Nylen-Barany atau Hallpike. Pada tes ini penderita duduk di tempat tidur periksa. Kemudian ia direbahkan sampai kepala bergantung di pinggir tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah horizon, kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita harus tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat muncul-tidaknya nistagmus. Kepada penderita ditanyakan apakah merasakan timbulnya gejala vertigo.

e. Tes Kalori. Tes kalori ini dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan, dan dipastikan bahwa tidak terjadi perforasi membran timpani ataupun serumen wax, yaitu dengan cara memasukkan air sebanyak 1 mL dengan suhu 300C, dan selanjutnya dilakukan evaluasi dalam hal nistagmus, keluhan pusing, gangguan fiksasi bola mata.

Pemeriksaan lainnya dapat juga dilakukan, namun selain pemeriksaan fungsi vestibuler dan keseimbangan perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang yang lainnya jika diperlukan. Beberapa pemeriksaan penunjang di antaranya pemeriksaan laboratorium:

a. Pemeriksaan darah lengkap, tes toleransi glukosa, pemeriksaan elektrolit darah, kalsium, fosfor, magnesium, serta pemeriksaan fungsi tiroid.   

b. Pemeriksaan penunjang dengan CT-scan, MRI, ataupun dengan angiografi dilakukan untuk menilai struktur dari organ dan adanya gangguan aliran darah misalnya pada keluhan vertigo sentral.  

Pengobatan dan Perawatan

Penatalaksanaan vertigo tergantung dari lama keluhan dan ketidaknyamanan dari gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada keadaan vertigo beberapa tindakan spesifik dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Misalnya pada penyakit Meniere, pengurangan asupan garam, dan penggunaan diuretik disarankan untuk mengurangi tekanan endolimfatik. Sedangkan untuk BPPV (benign paroxysmal positional vertigo), mungkin dapat dicoba dengan bedside maneuver.

Penatalaksanaan Medikamentosa.

Secara umum penatalaksanaan dengan medikamentosa mempunyai tujuan utama:

i mengeliminasi keluhan vertigo

ii memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler

iii menurunkan gejala-gejala neurovegetatif ataupun gejala psikoafektif.

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya:

a. Antikolinergik, ini merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan vertigo, dan yang paling banyak digunakan adalah skopolamin dan homatropin. Kedua preparat tersebut dapat juga digabungkan menjadi satu sediaan antivertigo. Antikolinergik ini bersifat sebagai vestibuler supresan melalui reseptor muskarinik. Pemberian secara per-oral antikolinergik ini memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama adalah gejala-gejala penghambatan reseptor muskarinik sentral seperti: gangguan memori, dan kebingungan terutama pada populasi lanjut usia, serta gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer seperti: gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.

b. Antihistamin. Penghambat reseptor histamin-1 H-1 blocker saat ini merupakan antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo, dan di antaranya: diphenhidramin, siklizine, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin.

Mekanisme dari antihistamin sebagai vestibuler supresan tidak diketahui banyak, namun diperkirakan juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki motion sickness. Efek sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1 H1- blocker. Obat ini biasanya diberikan secara per oral, dan dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam misalnya: siklisin sampai 12 jam misalnya: meklosin

c. Histaminergik. Obat ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di beberapa negara Eropa, namun tidak di Amerika. Betahistin merupakan prekrusor histamin. Efek antivertigo dari betahistin ini diperkirakan adanya efek vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem vestibuler. Pada pemberian secara per oral, betahistin ini diserap dengan baik, kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang, termasuk diantaranya keluhan nyeri kepala dan mual.

d. Antidopaminergik, biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada pasien dengan gejala mirip vertigo. Sebagian besar antidopaminergik ini merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti namun diperkirakan efek dari antikolinergik dan antihistaminik H1 yang berpengaruh terhadap sistem vestibuler perifer. Lama kerja dari neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 - 12 jam. beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik seperti: domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, misalnya diskinesia tardive, parkinsonisme, distonia akut, dsb.

e. Benzodiazepin , merupakan GABA modulator, yang akan berikatan pada tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan melalui mekanisme sentral. Namun seperti halnya obat-obat sedatif akan mempengaruhi kompensasi dari vestibuler. Efek farmakologis utama dari benzodiazepin adalah efek sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta efek antikonvulsan. Beberapa obat dari golongan ini yang sering digunakan adalah: lorazepam, diazepam, clonazepam.

f. Kalsium antagonis. Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat saluran kalsium di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat saluran kalsium ini berfungsi sebagai vestibuler supresan. Flunarizin dan cinnarizin merupakan penghambat saluran kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo, obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat saluran kalsium, ternyata flunarizin dan cinnarizin ini mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta efek sebagai antihistamin-1.

Flunarizin dan Cinarizin dikonsumsi secara per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dan kadar mantap dapat tercapai setelah 2 bulan, namun kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam waktu 4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan berat badan. Sedangkan efek jangka panjang pernah dilaporkan adanya keluhan depresi dan gejala parkinsonisme. Namun, efek samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia.

g. Simpatomimetik, termasuk epedrin dan ampetamin, namun harus digunakan secara hati-hati dikarenakan adanya efek adiksi.

h. Asetilleusin. Obat ini banyak digunakan di Perancis, mekanisme kerja dari obat ini sebagai antivertigo tidak diketahui dengan pasti, namun diperkirakan bekerja sebagai prekrusor neuromediator yang mempengaruhi aktivasi dari vestibuler aferen, serta diperkirakan mempunyai efek sebagai anti-kalsium pada neurotransmisi. Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di antaranya gastritis terutama pada dosis tinggi dan nyeri tempat injeksi.

i. Lain-lain. Beberapa preparat ataupun zat yang diperkirakan mempunyai efek sebagai antivertigo di antaranya: ginkgo biloba, piribedil dopaminergik agonis, dan ondansetron.

 

Referensi:

Vertigo. CDK 2014.