Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) disebabkan oleh virus SARS-COV-2 yang sering menyebabkan gejala saluran pernapasan bagian bawah yang berat dan telah menyebabkan lebih dari 745.000 kematian di seluruh dunia. Salah satu tantangan dalam menghentikan pandemi ini adalah tidak adanya bukti yang menunjukkan intervensi farmakologi yang efektif untuk mencegah COVID-19.
Vitamin D dapat memperkuat imunitas bawaan sehingga diharapkan dapat menurunkan infeksi dan transmisi COVID-10. Vitamin D juga mempengaruhi metabolisme zinc yang dapat menurunkan replikasi coronavirus. Vitamin D memodulasi fungsi imun melalui efeknya pada sel dendritik dan sel T, yang dapat meningkatkan klirens virus serta menurunkan respons inflamasi yang menimbulkan gejala. Kadar vitamin D yang lebih tinggi juga berkorelasi dengan kadar interleukin-6, yang merupakan target utama dalam mengontrol badai sitokin pada COVID-19. Sejauh dapat mencegah infeksi, menurunkan replikasi virus, atau mempercepat klirens virus, maka terapi vitamin D mungkin dapat menurunkan penyebaran infeksi virus.
Mengingat rendahnya risiko dan biaya terapi dengan vitamin D, maka laporan saat ini menyarankan bahwa terapi vitamin D sebaiknya ditingkatkan. Namun demikian, masih kurang bukti untuk mengetahui apakah kekurangan vitamin D terkait dengan infeksi COVID-19 dan apakah pengobatan vitamin D dapat membantu mengurangi beban dan penyebaran COVID-19.
Terapi vitamin D telah diidentifikasi sebagai strategi yang potensial untuk pencegahan atau terapi COVID-19. Terapi vitamin D telah menunjukkan dapat menurunkan infeksi pernapasan virus lain, khususnya pada orang dengan defisiensi vitamin D. Sedangkan defisiensi vitamin D sering ditemukan, terutama pada orang berkulit gelap atau kurang terpapar sinar matahari.
Dengan menggunakan data dari catatan kesehatan elektronik di University of Chicago Medicine (UCM) di Chicago, Illinois, dihipotesiskan bahwa orang yang dites COVID-19 akan lebih mungkin positif COVID-19 jika memiliki kadar vitamin D rendah dibanding kadar vitamin D cukup. Selanjutnya dilakukan studi cohort retrospektif untuk menilai apakah status vitamin D sebelum COVID-19 dikaitkan dengan hasil tes COVID-19. Studi dilakukan pada pasien dengan kadar 25(OH)D atau 1,25(OH)2D yang diukur dalam 1 tahun sebelum dites COVID-19 dari Maret hingga April 2020.
Didefinisikan defisiensi vitamin D jika kadar 25(OH)D <20 ng/mL atau kadar 1,25 (OH)2D <18 pg/mL. Sedangkan perubahan terapi didefinisikan sebagai perubahan jenis dan dosis vitamin D antara tanggal pengukuran kadar vitamin D terakhir dan tanggal pemeriksaan COVID-19. Defisiensi vitamin D dan perubahan terapi dikombinasikan untuk mengkategorikan status vitamin D terkini sebelum tes COVID-19 sebagai mungkin defisiensi (kadar terakhir defisiensi dan dosis terapi tidak meningkat), mungkin sufisiensi (kadar terakhir tidak defisiensi dan dosis terapi tidak menurun), serta 2 kelompok lainnya didefinisikan sebagai tidak pasti (kadar terakhir defisiensi dan dosis terapi meningkat dan kadar terakhir tidak defisiensi dan dosis terapi menurun).
Hasilnya menunjukkan bahwa 489 subjek (usia rata-rata 18,4 tahun, 75% wanita, 68% ras selain kulit putih) memiliki kadar vitamin D dalam 1 tahun sebelum tes COVID-19. Status vitamin D sebelum cek COVID-19 adalah 25% mungkin defisiensi, 59% mungkin sufisiensi, 16% tidak pasti. Secara keseluruhan, 71 (15%) subjek positif COVID-19. Pada analisis multivariat, tes COVID-19 positif dikaitkan dengan peningkatan usia hingga 50 tahun (RR 1,06; 95% CI 1,01-1,09. P=0,02), ras non-kulit putih (RR 2,54; 95%CI 1,26-5,12; p=0,009), dan satus mungkin defisiensi vitamin D (RR 1,77; 95% Ci 1,12-2,81, p= 0,02) dibandingkan dengan status mungkin sufisiensi vitamin D. Kejadian COVID-19 yang diprediksi pada kelompok defisiensi adalah 21,6% (95% CI 14,0%-29,2%) vs 12,2% (95% CI 8,9%-15,4%) pada kelompok sufisiensi.
Dari hasil studi disimpulkan bahwa status vitamin D tampaknya berperan pada risiko COVID-19, di mana tes COVID-19 positif dikaitkan dengan kemungkinan defisiensi vitamin D. Studi klinis acak intervensi untuk mengurangi defisiensi vitamin D diperlukan untuk menentukan apakah intervensi tersebut dapat mengurangi kejadian COVID-19, termasuk intervensi pada populasi luas dan intervensi di antara kelompok-kelompok yang berisiko tinggi defisiensi vitamin D dan/atau COVID-19.
Silakan baca juga: Prove D3-1000, untuk meningkatkan kadar 25(OH)D dalam darah pada pasien dengan kekurangan vitamin D
Image: Ilustrasi (sumber: https://www.diabetesaustralia.com.au/tablets)
Referensi:
1. Meltzer DO, Best TJ, Zhang H, Vokes T, Arora V, Solway J. Association of vitamin D status and other clinical characteristics with covid-19 test results. JAMA Network Open. 2020;3(9):e2019722.doi:10.1001/jamanetworkopen. 2020.19722
2. Grant WB, Lahore H, McDonnell SL, Baggerly C, French CB, Aliano JL, et al. Evidence that vitamin D supplementation could reduce risk of influenza and COVID-19 infections and deaths. Nutrients. 2020;12(4):988. doi:10.3390/nu12040988