Miastenia Gravis
Pendahuluan dan Fakta
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur di atas 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
Patofisiologi
Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis
Gejala Klinis dan Komplikasi
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah paresis dari pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya
Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. Hal ini disebabkan dalam serum Anti-asetilkolin reseptor antibodi.
Elektrodiagnostik. Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik. Single-fiber Electromyography (SFEMG) dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Tatalaksana dan Perawatan
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.
Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper.Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Referensi:
A.A Gde Agung Anom Arie W, Adnyana MO, Widyadharma IPE. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA MIASTENIA GRAVIS. [Internet] [Cited 28/8/2021]. Available from: https://ojs.unud.ac.id › eum › article › download