Endometriosis
Pendahuluan dan Fakta
Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan tum-buhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Sel-sel endometrium yang melapisi kavum uteri sangat dipengaruhi hormon wanita. Dalam keadaan normal, sel-sel endometrium kavum uteri akan menebal selama siklus menstruasi berlangsung agar nantinya siap menerima hasil pembuahan sel telur oleh sperma. Bila sel telur tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endo-metrium yang menebal akan meluruh dan keluar sebagai darah menstruasi.
Pada endometriosis, sel endometrium yang semula berada dalam kavum uteri berpindah dan tumbuh di luar kavum uteri. Sel-sel dapat tumbuh dan berpindah ke ovarium, tuba Falopii, belakang kavum uteri, ligamentum uterus, bahkan dapat sampai ke usus dan vesika urinaria. Pada saat menstruasi berlangsung, sel-sel endo-metrium yang berpindah ini akan menge-lupas dan menimbulkan perasaan nyeri di sekitar panggul. Umumnya endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endo-metriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya, dan lebih dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Endometriosis ditemukan pada 25% wanita infertil, dan diperkirakan 50%-60% dari kasus endometriosis akan infertil.
Patofisiologi
Sampai saat ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas. Beberapa ahli men-coba menerangkan kejadian endometriosis dengan berbagai teori, yakni teori im-plantasi dan regurgitasi, metaplasia, hor-monal, serta imunologik.
Teori implantasi dan regurgitasi me-ngemukakan adanya darah haid yang dapat mengalir dari kavum uteri melalui tuba Falopii, tetapi tidak dapat menerangkan terjadinya endometriosis diluar pelvis. Teori metaplasia menjelaskan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang ber-ubah menjadi endometrium. Menurut teori ini, perubahan tersebut terjadi akibat iritasi dan infeksi atau pengaruh hormonal pada epitel coelom. Dari aspek endokrin, hal ini bisa diterima karena epitel germinativum ovarium, endometrium, dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Yang paling dapat diterima yakni teori hormonal, yang berawal dari kenyataan bahwa kehamilan dapat menyembuhkan endometriosis. Rendahnya kadar FSH (fo-licle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), dan estradiol (E2) dapat menghilangkan endometriosis. Pemberian steroid seks juga dapat menekan sekresi FSH, LH, dan E2.
Pendapat yang sudah lama dianut ini mengemukakan bahwa pertumbuhan endometriosis sangat tergantung pada kadar estrogen dalam tubuh, tetapi akhir-akhir ini mulai diperdebatkan. Menurut Kim et al, kadar E2 ditemukan cukup tinggi pada kasus-kasus endometriosis. Olive (1990) menemukan kadar E2 serum pada setiap kelompok derajat endometriosis terdapat dalam batas normal. Keadaan ini juga tidak bergantung pada beratnya derajat endometriosis, dan makin menimbulkan keraguan mengenai penyebab sebenarnya dari endometriosis. Bila dianggap perkem-bangan endometriosis bergantung pada kadar estrogen dalam tubuh, seharusnya terdapat hubungan bermakna antara berat-nya derajat endometriosis dengan kadar E2. Di lain pihak, bila kadar E2 tinggi dalam tubuh maka senyawa ini akan diubah menjadi androgen melalui proses aroma-tisasi, yang berakibat kadar testosteron (T) akan meningkat. Kenyataan pada penelitian tersebut, kadar T tidak berubah secara bermakna menurut beratnya penyakit, bah-kan dalam cairan peritoneal terlihat kadar-nya cenderung menurun seirama dengan E2. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa memberatnya endometriosis tidak murni tergantung estrogen saja.
Teori endometriosis dapat dikaitkan dengan aktivitas sistem imun. Teori imuno-logik menerangkan bahwa secara embrio-logik, sel epitel yang membungkus perito-neum parietal dan permukaan ovarium me-miliki asal yang sama; oleh karena itu sel-sel endometriosis akan sejenis dengan mesotel. Telah diketahui bahwa CA-125 merupakan suatu
antigen permukaan sel yang semula diduga khas untuk ovarium. Endometriosis merupakan proses prolife-rasi sel yang bersifat destruktif dan akan meningkatkan kadar CA-
125. Oleh karena itu, antigen ini dipakai sebagai penanda kimiawi
Gejala Klinis dan Komplikasi
Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia, dyschezia dan atau infertilitas. Menurut penelitian kasus control di Amerika Serikat, gejala seperti nyeri abdomen, dysmenorrhea, menorrhagia, dan dyspareunia mempunyai hubungan dengan endometriosis. Sebanyak 83% wanita dengan endometriosis mengeluhkan salah satu atau lebih gejala tersebut, sedangkan hanya 29% wanita tanpa endometriosis yang mengeluhkan gejala tersebut.
Gejala endometriosis eksternal :
Kejadian katamenial adalah kejadian yang biasanya terjadi pada wanita dengan endometriosis. Meskipun kejadian ini jarang terjadi, namun juga sering menimbulkan permasalahan lainnya. Beberapa katamenial yang dapat terjadi pada kelainan endometriosis yaitu penumothoraks, hemoptysis, dan endometriosis pada organ peritoneum lainnya. Kasus yang telah dilaporkan, terdapat endometriosis pada rektal yang menyebabkan obstruksi, endometriosis pada kolon sigmoid yang menyebabkan gejala hampir sama dengan kanker kolon.
Pada endometriosis yang menyerang organ usus, gejala yang biasanya timbul meliputi perdarahan, obstruksi usus, namun jarang dengan perforasi maupun mengarah kepada keganasan. Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat terjadinya endometriosis. Gejala yang disampaikan oleh pasien seperti nyeri perut, distensi, diare, konstipasi, dan tenesmus.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri. Menurut penelitian histologi pada 98 pasien dengan endometriosis di retrosigmoid dan retroserviks, pemeriksaan dalam memiiki sensitivitas 72% dan 68% secara berurutan, spesifitas 54% dan 46%, nilai prediktif positif 63% dan 45%, nilai prediktif negatif 64% dan 69%, dan akurasi 63% dan 55%.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan endometriosis adalah ultrasonografi transvaginal dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan pemeriksaan marka biokimiawi.
Ultrasonografi
Ultrasonografi vaginal merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama yang mempunyai akurasi cukup baik terutama dalam mendeteksi kista endometriosis. USG tidak memberikan hasil baik untuk pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada endometriosis dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya bervariasi tergantung lokasi lesi endometriosis. Ultrasonografi transvaginal juga dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis pada traktus gastrointestinal. Dari review sistematis 1105 wanita didapatkan sensitivitas USG adalah 91 % dengan spesifisitas 98%, nilai duga positif 98% dan nilai duga negatif 95%.
Magnetic Resonance Imaging
Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk mengenai penggunaan MRI untuk mendiagnosis endometriosis peritoneum, didapatkan sensitifitas 69% dan spesifisitas 75%. Sebagai kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau mengeksklusi endometriosis peritoneum
Pemeriksaan Marka Biokimiawi
Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh inflamasi. Sitokin, interleukin, dan TNF-a mempunyai peran dalam pathogenesis endometriosis. Hal ini dilihat dari meningkatnya sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi derajat dari endometriosis.
Penanda Tumor CA-125
Pemeriksaan laboratorium menggunakan penanda CA-125 serum sering dilakukan pada endometriosis, tetapi bila dibandingkan dengan laparoskopi CA-125 tidak mempunyai nilai diagnostik. Panduan RCOG menyebutkan CA-125 mempunyai nilai yang terbatas untuk penapisan maupun untuk diagnostik.
Pemeriksaan Laparoskopi
Sampai saat ini metode definitif untuk diagnosis endometriosis termasuk penentuan stadium dan evaluasi kekambuhan pascaterapi adalah visualisasi langsung dengan pembedahan. Sebagian besar tindakan visualisasi tersebut menggunakan laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di abdomen atau panggul menggunakan insisi kecil 0,5-1,5 cm dengan memasukkan kamera kedalamnya. Laparoskopi dapat dilakukan untuk diagnostik dan sekaligus dapat untuk tindakan operasi
Tatalaksana dan Perawatan
Endometriosis adalah penyakit kronis yang menyebabkan keluhan nyeri dan/atau infertilitas dengan beban morbiditas yang tidak sama antarpenderita, karena itu sebaiknya penanganan endometriosis bersifat individual dan diarahkan untuk memperbaiki kualitas hidup.
Penanganan Nyeri Endometriosis
Endometriosis didapatkan pada 60-80% penderita dengan nyeri panggul yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Terapi medis yang melibatkan berbagai obat hormon dan analgetika telah digunakan untuk mengatasi nyeri endometriosis, selain itu pembedahan dengan beberapa teknik tindakan juga telah banyak dipakai.
1. Terapi Medis Endometriosis
Terapi medis telah disepakati dan diterima sebagai salah satu pengobatan untuk endometriosis. Obat yang dipakai pada terapi medis ditujukan untuk menekan hormon steroid ovarium yaitu estrogen, agar terjadi kondisi hipoestrogen sehingga menyebabkan atrofi lesi endometrium ektopik. Pemberian terapi medis akan memengaruhi kondisi keseimbangan hormon pada siklus haid sehingga terjadi anovulasi kronis dan amenore yang selanjutnya akan menginduksi desidualisasi endometrium hingga menimbulkan keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu akan memicu atrofi endometrium hingga timbul pseudo-menopause. Keadaan patologis yang terjadi di endometrium eutopik dan ektopik akan berdampak pada penekanan sel endometrium, peningkatan apoptosis dan penurunan pertumbuhan jaringan endometrium. Gambaran di atas menjadi dasar terapi medis yang dipakai untuk menekan pertumbuhan sehingga terjadi regresi lesi endometriosis
a, Pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi kombinasi telah dipakai secara luas untuk mengatasi keluhan dismenore dan nyeri panggul terkait dengan endometriosis.
Pengobatan ini menunjukkan hasil yang efektif, aman dan dapat diterima untuk pengobatan dismenorea dan nyeri panggul terkait endometriosis pada perempuan yang tidak meginginkan anak
b. Progestogen. Progestogen merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan untuk terapi endometriosis termasuk di antaranya adalah medroksi
progesteron asetat (MPA) dan derivat nortestosteron (misal levonorgestrel, noretindron asetat, dan dienogest).
c. Danazol. Danazol adalah derivat 17-etiniltestosteron dan bekerja dengan cara menghambat lonjakan LH dan steroidogenesis serta meningkatkan kadar free
testosteron. Pemakaian Danazol menimbulkan efek samping hiperandrogen yang dapat berupa hirsutisme, jerawat, peningkatan berat badan dan
perubahan suara menjadi lebih berat seperti suara laki-laki
d. Analog GNRH, Analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) tersedia dalam dua bentuk, yaitu agonis GnRH dan antagonis GnRH. Kedua sediaan tersebut telah digunakan untuk terapi nyeri endometriosis namun agonis GnRH lebih lama dipakai dan memberikan hasil yang efektif untuk mengatasi nyeri.
e. Aromatase Inhibitor. Aromatase inhibitor telah diteliti kegunaannya sebagai obat untuk mengatasi nyeri endometriosis yaitu dengan cara menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang berfungsi sebagai kalatalisator konversi androgen menjadi estrogen. Tidak di semua negara tersedia obat aromatase inhibitor, yang paling sering ditemui adalah aromatase inhibitor generasi ketiga yaitu letrozole dan anastrozole. Aromatase inhibitor berkompetisi dengan dengan androgen untuk menduduki reseptor aromatase
d. Analgesik , Telah diketahui bahwa nyeri merupakan keluhan utama endometriosis. Telah terbukti pula bahwa kadar prostaglandin meningkat pada zalir peritoneum dan jaringan endometriosis perempuan penderita endometriosis.
2. Terapi Bedan untuk Nyeri Edomentritis
Endometriosis memiliki berbagai bentuk lesi dengan gambaran yang unik, dapat menjadi kronis dan mudah kambuh sehingga walaupun telah dilakukan tindakan pembedahan lesi mikroskopis dapat berlanjut menjadi aktif. Keluhan penderita seringkali tidak berkorelasi dengan ukuran lesi dan stadium endometriosis
Referensi:
1. Erna Suparman. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik, 2012:4;2:69-78. Internet [Cited 27/8/2021]. Available from:https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/754/12189
2. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Konsensus Tatalaksanan Nyeri Haid pada Endometriosis 2013. Internet [Cited 26/8/2021]. Availabe from: https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
3. Hendy Hendarto. Endometriosis. Dari aspek teori sampai penanganan klinis. http://repository.unair.ac.id/85343/1/Buku%20Endometriosis_HAKI_compressed.pdf