Disease Info
Kehamilan Ektopik Terganggu

Pendahuluan dan Fakta

Kehamilan ektopik terganggu merupakan masalah besar di bidang ginekologi di dunia, menimbulkan morbiditas dan mortalitas maternal yang tinggi. Sejak dekade 1970-an, frekuensinya meningkat hampir 6 kali lipat di Amerika Serikat, saat ini mencapai 2% dari seluruh kehamilan. Kehamilan ektopik terganggu yang umumnya merupakan keadaan gawat darurat, bertanggung jawab terhadap 9-10% kematian maternal akibat penyakit obstetrik.

Patofisiologi

Beberapa hal dibawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan Ektopik:

a. Pengaruh faktor mekanik. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi nonginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalah pernah menderita kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.

b. Pengaruh faktor fungsional. Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik yang terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran telur.

c. Kegagalan kontrasepsi. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

d. Peningkatan afinitas mukosa tuba. Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.

e. Pengaruh proses bayi tabung. Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari. 

Gejala dan Komplikasi

Gejala dan tanda dari kehamilan ektopik:

a. Nyeri. Gejala yang muncul berkaitan dengan apakah kehamilan ektopik sudah pecah. Gejala yang paling sering dialami adalah nyeri panggul dan perut. Gejala pencernaan dan pusing atau berkunang-kunang juga sering terjadi, terutama setelah rupture. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi diafragma oleh perdarahan. 

b. Haid Abnormal. Sebagian besar wanita melaporkan amenorea dengan bercak-bercak perdarahan per vagina. Perdarahan uterus yang terjadi pada kehamilan tuba sering disangka sebagai haid sejati. Perdarahan ini biasanya sedikit, berwarna cokelat tua, dan mungkin intermiten atau terus-menerus. Pada kehamilan tuba, jarang terjadi perdarahan per vagina yang hebat.

c. Nyeri Tekan Abdomen dan Panggul. Nyeri hebat pada pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan vagina, terutama saat serviks digerakkan, dijumpai pada lebih dari tiga perempat wanita dengan rupture kehamilan tuba. Akan tetapi, nyeri tekan ini mungkin tidak ada sebelum terjadi rupture.

d. Perubahan Uterus. Pada kehamilan tuba, uterus dapat tumbuh selama 3 bulan pertama karena pengaruh hormon plasenta. Konsistensi uterus juga mungkin serupa dengan yang dijumpai pada kehamilan normal. Uterus dapat terdorong kesamping oleh massa ektopik, atau jika ligamentum latum terisi oleh darah, uterus dapat sangat terdesak. Silinder desidua uterus terbentuk pada 5 hingga 10 persen wanita dengan kehamilan ektopik. Keluarnya struktur ini mungkin disertai oleh rasa kram yang serupa dengan yang dialami saat abortus spontan.

e. Tekanan Darah dan Nadi. Sebelum pecah, tanda-tanda vital umumnya normal. Respons awal terhadap ruptur dapat berkisar dari tanpa perubahan tanda-tanda vital hingga peningkatan ringan tekanan darah, atau respons vasovagus disertai bradikardi dan hipotensi. Tekanan darah akan turun dan nadi meningkat hanya jika perdarahan berlanjut dan terjadi hipovolemia 

f. Suhu. Setelah perdarahan akut, suhu mungkin normal atau bahkan rendah. Suhu dapat meningkat hingga 38°C, tetapi tanpa infeksi suhu jarang melebihi angka ini.

g. Massa Panggul. Pada pemeriksaan bimanual, dapat diraba suatu massa di panggul pada 20 persen pasien. Massa tersebut hampir selalu terletak di posterior atau lateral uterus. Massa biasanya lunak dan elastis.

h. Kuldosentesis. Kuldosentesis adalah suatu teknik sederhana untuk mengidentifikasi hemoperitoneum. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan sebuah tenakulum, dan dimasukkan sebuah jarum panjang 16 atau 18 melalui forniks posterior ke dalam cul-de-sac. Potongan bekuan darah lama yang mengandung cairan, atau cairan mengandung darah yang tidak membeku, sesuai dengan diagnosis hemoperitoneum akibat kehamilan ektopik. Jika darah yang disedot membeku, maka darah tersebut mungkin berasal dari pembuluh darah yang tertusuk dan bukan perdarahan pada kehamilan ektopik. Tidak adanya cairan yang tersedot, tidak menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik

Diagnosis

Cara untuk mendiagnosa suatu kehamilan ektopik yaitu :

a. Anamesis. Pada anamneses, terdapat trias KET yaitu amenorea yang disertai tanda hamil muda, nyeri perut, bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam.

b. Pemeriksaan Fisik. Pada pemeriksaan dijumpai penderita tampak kesakitan, pucat, anemis, gelisah, gejala penimbunan darah dalam kavum abdomen, perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok, gejala gangguan kardiovaskuler, dan gejala perubahan sistem pernafasan. Pada pemeriksaan dalam/ ginekologi terasa nyeri tekan dan nyeri goyang pada serviks, forniks posterior menonjol dan nyeri, uterus dapat teraba agak membesar, terdapat tumor dengan batas tidak jelas disekitar uterus, dan kavum douglas menonjol, berisi darah dan nyeri bila ditekan.

c. Pemeriksaan Laboratorium

1. Hemoglobin, Hematokrit, dan Hitung Leukosit. Setelah perdarahan, volume darah yang berkurang dikembalikan kearah normal oleh hemodilusi yang berlangsung dalam satu atau beberapa hari. Oleh karena itu, pemeriksaan hemoglobin atau hematokrit pada awalnya mungkin hanya memperlihatkan sedikit penurunan. Pada kehamilan ektopik terganggu, derajat leukositosis sangat bervariasi. Pada sekitar separuh wanita, dapat ditemukan leukositosis hingga 30.000/µL.

2. Pemeriksaan Urine untuk Kehamilan. Pemeriksaan urine yang tersering digunakan adalah pemeriksaan latex agglutination inhibition (hambatan penggumpalan lateks) menggunakan slidedengan sensitivitas untuk gonadotropin korion (hCG) dalam kisaran 500 hingga 800 mIU/mL. pada kehamilan ektopik, kemungkinan positif hanyalah 50 hingga 60 persen. Jika digunakan tabung, deteksi hCG adalah dalam kisaran 150 hingga 250 mIU/mL, dan uji ini positif pada 80 hingga 85 persen kehamilan ektopik. Uji yang menggunakan enyme-linked immunosorbent assay (ELISA) sensitive hingga 10 sampai 50 mIU/mL dan positif pada 95 persen kehamilan ektopik. 

3. Pemeriksaan ß-hCG Serum. Radioimmunoassay, dengan sensitivitas 5 sampai 10 mIU/mL merupakan metode paling tepat untuk mendeteksi kehamilan. Karena satu kali hasil pemeriksaan serum yang positif tidak menyingkirkan kehamilan ektopik maka dirancanglah beberapa metode yang menggunakan nilai serum kuantitatif serial untuk menegakkan diagnosis. Metode ini sering digunakan bersama dengan sonografi.

4. Progesteron Serum. Satu kali pengukuran progesteron sering dapat digunakan untuk memastikan kehamilan yang berkembang normal. Nilai yang melebihi 25 ng/mL menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik dengan sensitivitas 97,5 persen. Nilai yang kurang dari 5ng/mL mengisyaratkan bahwa mudigah-janin telah meninggal, tetapi tidak menunjukkan lokasinya. Kadar progesterone antara 5 dan 25 ng/mL bersifat inkonklusif.

d. Pencitraan Ultrasound

1. Sonografi Abdomen. Kehamilan di tuba falopi sulit diidentifikasi dengan sonografi abdomen. Tidak adanya kehamilan di uterus secara sonografis, uji kehamilan yang positif, adanya cairan di cul-de-sac, dan adanya massa abnormal di panggul, menunjukkan kehamilan ektopik. Sayangnya ultrasound mungkin memberi gambaran kehamilan intrauterus pada sebagian kasus kehamilan ektopik saat bekuan darah atau silinder desidua memberi gambaran seperti suatu kantong intrauterus kecil. Hal yang utama, suatu kehamilan intrauterus biasanya tidak terdeteksi dengan ultrasound abdomen hingga 5 atau 6 minggu haid atau konsentrasi ß-hCG serum lebih dari 6000 mIU / mL

2. Sonografi Vagina. Sonografi dengan transduser vagina dapat mendeteksi kehamilan uterus paling awal 1 minggu setelah terlambat haid jika kadar ß-hCG serum lebih dari 1500 mIU / mL . Uterus yang kosong dengan konsentrasi ß-hCG serum 1500 mIU / mL atau lebih sangat akurat untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik. Identifikasi kantong gestasi dengan ukuran 1 hingga 3 mm atau lebih, yang terletak eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion mengisyaratkan kehamilan intrauterus.

3. Ultrasound Doppler Warna dan Berpulsa. Pada teknik ini dilakukan identifikasi atas letak warna vascular intra- atau ekstrauterus dalam bentuk khas yang disebut pola ring-of-fire dan pola aliran kecepatan-tinggi impendansi-rendah yang sesuai dengan perfusi plasenta. Jika pola ini terlihat di luar rongga uterus maka ditegakkan diagnosis kehamilan ektopik.

Tatalaksana dan Perawatan

Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita atas fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi feltilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomia.

 Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampullaris tuba yang belum pecah pernah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah:

1. Kehamilan di ampullaris tuba belum pecah.

2. Diameter kantong gestasi = 4cm

3. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml.

4. Tanda vital baik dan stabil. 

Sedangkan untuk kontraindikasinya adalah:

1. Adanya kehamilan intrauterine

2. Immunodefisiensi

3. Anemia sedang hingga berat, leukopenia, atau trombositopenia

4. Sensitivitas terhadap terhadap metotrexate

5. Penyakit peptic ulcer

6. Menyusui

7. Disfungsi ginjal dan penyakit hati

8. Bukti adanya rupture tuba


Pembedahan

Laparoskopi lebih diajurkan daripada laparotomi kecuali jika wanita yangbersangkutan tidak stabil. Meskipun hasil akhir reproduktif, termasuk angka kehamilan uterus dan kekambuhan kehamilan ektopik setara, namun laparoskopi lebih efektif biaya dan menghasilkan waktu penyembuhan yang lebih singkat. Pembedahan tuba untuk kehamilan ektopik dianggap konservatif jika tuba diselamatkan. Contohnya adalah salpingostomi, salpingotomi, dan ekspresi kehamilan ektopik melalui fimbria. Pembedahan radikal dilakukan jika diperlukan salpingektomi.

a. Kuretase. Pada banyak kasus, aborsi inkomplet dan kehamilan tuba dapat dibedakan dengan kuretase. Kuretase dianjurkan jika kada progesterone serum kurang dari 5 ng / mL atauß-hCG meningkat secara abnormal.

b. Salpingostomi. Tindakan ini digunakan untuk mengeluarkan kehamilan kecil yang biasanya panjangnya kurang dari 2 cm dan terletak di sepertiga distal tuba falopii. Dibuat sebuah sayatan lurus dengan panjang 10 sampai 15 mm atau kurang, di tepi antimesenterik tepat di atas kehamilan ektopik. Produk biasanya akan menyembul dari insisi tersebut dan dapat dikeluarkan secara hati-hati atau dibilas. Tempat perdarahan kecil diatasi dengan elektrokauterisasi atau laser, dan sayatan dibiarkan tidak dijahit untuk sembuh secara sekunder. Tindakan ini dapat dilakukan melalui laparoskop dan saat ini merupakan gold standard metode bedah untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. 

c. Salpingotomi. Tindakan ini sama dengan salpingostomi kecuali sayatan ditutup dengan jahitan Vicryl 7-0 atau yang setara. Tidak terdapat perbedaan dalam prognosis dengan atau tanpa jahitan.

d. Salpingektomi. Reseksi tuba dapat dilakukan melalui laparoskop operatif dan dapat digunakan baik pada kehamilan ektopik terganggu atau belum terganggu. Saat mengangkat tuba falopii, dianjurkan untuk membuat sayatan baji tidak melebihi sepertiga luar bagian interstisium tuba. Reseksi kornu ini dilakukan sebagai upaya memperkecil kemungkinan (walaupun jarang) kekambuhan kehamilan di kantong tuba.

e. Reseksi segmental dan anastomosis. Reseksi massa dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan untuk kehamilan ismus yang belum rupture. Pendekatan ini digunakan untuk menghindari pembentukan jaringan parut dan penyempitan yang ditimbulkan oleh salpingostomi. Setelah segmen tuba dipajankan, mesosalping di bawah tuba disayat, dan istmus tuba yang mengandung massa ektopik direseksi. Mesosalping dijahit sehingga puntung tuba menyatu. Segmen tuba kemudian dijahit lapis demi lapis dengan Vicryl 7-0 interuptus. Prosedur ini paling baik dilakukan dengan teknik bedah mikro dan pembesaran lapangan operasi. 



Referensi:

Tarigan GY. Karakteristik pasien kehamilan ektopik terganggu di RSUP H. Adam Malik periode Tahun 2012-2015. [Internet]. [Cited 26/8/2021]. Available from: http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19922/130100373.pdf?sequence=1&isAllowed=y