Detail Article

Diet Tinggi Protein Bagi Lansia dengan DM Tipe 2, Apakah Aman?

dr. Dedyanto Henky Saputra, M.Gizi
Nov 27
Share this article
42d0ba5840e02968221c323600c097ec.jpg
Updated 27/Nov/2025 .

Pada lanjut usia (lansia) dengan diabetes tipe 2, khususnya yang berusia lebih dari 75 tahun, membutuhkan protein yang cukup tinggi untuk menjaga massa dan kekuatan otot, namun ada kekhawatiran bahwa asupan protein tinggi akan memperberat kerja ginjal. Penelitian berikut bertujuan untuk mengetahui apakah edukasi gizi tinggi protein yang terarah dan terpantau dapat membantu mencegah atau memperbaiki sarkopenia, tanpa merusak fungsi ginjal, pada lansia dengan diabetes tipe 2.


Penelitian dilakukan di Jepang pada 44 subjek diabetes tipe 2 yang berusia rata‑rata 80 tahun (rentang sekitar 75–85 tahun). Subjek adalah pasien rawat jalan, hidup mandiri di komunitas, dan bukan pasien yang dirawat di rumah sakit. Karakteristik kelompok ini sangat menarik, karena pada usia tersebut penurunan massa otot, kekuatan fisik, dan cadangan ginjal biasanya sudah cukup nyata. Selain itu, sekitar setengah dari subjek sudah tergolong sarkopenia saat awal penelitian.

 

Para peneliti memberikan intervensi berupa edukasi gizi secara individual dengan fokus utama peningkatan asupan protein. Targetnya adalah untuk mencapai asupan sekitar 1,3–1,5 g protein per kg berat badan ideal per hari (dengan sedikit penyesuaian sesuai derajat penyakit ginjal), namun tetap mengikuti rekomendasi guideline seperti ESPEN. Edukasi diberikan oleh dietisien berpengalaman pada saat awal, bulan ke‑6, dan bulan ke‑12, dan subjek di follow up sampai 18 bulan. Asupan makanan dinilai menggunakan kuesioner frekuensi makan yang sudah tervalidasi.

 

Hasilnya adalah:

· Rata‑rata subjek bisa mempertahankan asupan protein sekitar 1,23–1,26 g/kgBB ideal per hari sepanjang 18 bulan. Artinya, subjek mengonsumsi protein sedikit di atas rekomendasi minimal untuk lansia. Sumber protein berasal dari makanan sehari‑hari: daging, ikan, telur, produk susu, dan kacang‑kacangan, dan suplemen.

· Indeks massa otot rangka (SMI) meningkat secara bermakna pada bulan ke‑6 dan ke‑12.

· Kekuatan genggam tangan, yang merupakan indikator penting kekuatan otot tubuh bagian atas, juga menunjukkan peningkatan signifikan pada bulan ke‑12.

· Kecepatan berjalan sebagai gambaran fungsi fisik dan mobilitas membaik pada bulan ke‑6, meski efek ini tidak sepenuhnya bertahan hingga bulan ke‑18.

· Prevalensi sarkopenia yang awalnya 50% turun menjadi sekitar 32% pada bulan ke‑6, sebelum sedikit naik lagi, namun tetap tidak melampaui angka awal.

· Fungsi ginjal diukur dengan 2 cara: eGFR berbasis kreatinin (eGFRcreat) dan eGFR berbasis sistatin C (eGFRcys). Secara rata‑rata, eGFRcreat cenderung stabil sepanjang 18 bulan, sementara eGFRcys menurun dengan laju sekitar 3 mL/menit/1,73 m² per tahun. Penurunan ini memang signifikan secara statistik, tetapi masih lebih kecil dibanding laju penurunan yang tercatat pada kelompok pasien nefropati diabetik berat dalam uji klinis besar. Selain itu, proporsi pasien dengan eGFRcreat < 60 mL/menit/1,73 m² tidak meningkat secara konsisten. Secara klinis, hal ini menyiratkan bahwa asupan protein sekitar 1,2–1,3 g/kg berat badan ideal per hari masih dapat ditoleransi oleh ginjal pada lansia dengan fungsi ginjal yang relatif tidak terlalu berat (stadium 1-3), jika diobservasi dengan baik.

· HbA1c menurun sekitar seperempat persen per tahun, menunjukkan adanya perbaikan ringan kontrol gula darah, walaupun bukan itu fokus utama intervensi. Satu temuan menarik adalah penurunan kadar FGF21, suatu hormon yang biasanya meningkat pada kondisi stres metabolik, resistensi insulin, atau ketidakseimbangan nutrisi. Penurunan FGF21 ini dapat ditafsirkan sebagai tanda bahwa tubuh menjadi lebih “efisien” secara metabolik setelah asupan protein diperbaiki.

· Secara umum, kadar total asam amino dan branched-chain amino acid (BCAA) tidak banyak berubah, tetapi ada pola perubahan khusus: beberapa asam amino seperti alanin, arginin, sitrulin, histidin, dan sistein meningkat, sementara serin dan lisin menurun pada waktu tertentu. Melalui analisis statistik lanjutan, ditemukan bahwa perubahan kadar asam amino tertentu dan hormon glukagon berkaitan dengan perubahan massa dan kekuatan otot. Contohnya, kenaikan glukagon berhubungan positif dengan peningkatan massa otot, tetapi justru berkaitan negatif dengan kekuatan genggam, menunjukkan hubungan yang cukup kompleks dan belum sepenuhnya dipahami.

 

Kesimpulan:

Secara keseluruhan, penelitian ini mendapatkan hasil bahwa edukasi gizi tinggi protein secara individual, yang diberikan secara berkala selama 18 bulan, dapat membantu memperbaiki atau mempertahankan parameter terkait sarkopenia pada lansia ≥ 75 tahun dengan diabetes tipe 2, tanpa memicu penurunan fungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Hasil penelitian ini memberi sinyal bahwa konsumsi protein yang cukup pada lansia dengan diabetes melitus tetap dapat diberikan selama fungsi ginjal dipantau dan lansia tidak tergolong sebagai pasien PGK (penyakit ginjal kronik) stadium lanjut.

 


Gambar: Ilustrasi (Sumber: envato element)

Referensi:

Todoroki H, Takayanagi T, Morikawa R, Asada Y, Hidaka S, Yoshino Y, et al. Effects of high-protein nutritional guidance on sarcopenia-related parameters in individuals aged ≥ 75 years with type 2 diabetes: an exploratory single-arm pre–post intervention study. Nutrients 2025;17(21):3459. https://doi.org/10.3390/nu17213459..


Share this article
Related Articles
Related Products
d6007ea529318082d40d22f6ba29b666.jpg
a67d87d747817244a7ad753d94390bef.jpg
fa50bf2bdd8fd455d4fe11155ccbdc36.jpg
573de320d077fb11a4b061d2a5e06c6f.jpg
daa1fa3d4037afd7018afeccdfa5dce6.jpg
4431c44b99239f5ffe960a390cc0d22c.jpg
562c942b3a9241996082d00520600132.jpg
6c0813c2f0609bd92cfbec771c8ac63c.jpg
cc7f9568a3fcdc82348afb297c5664ed.jpeg
0d5d162fa2b93e7bdc58203d9383226f.jpg