Disease Info
Demensia

Pendahuluan dan Fakta

Menurut American Psychiatric Association, Demensia merupakan suatu sindrom kronis atau progresif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif (kemampuan berpikir).1 Hingga saat ini, belum ada terapi yang dapat mengobati demensia.2 Hal ini dapat mempengaruhi proses mengingat, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, kapasitas belajar, bahasa, dan penilaian. Demensia tidak mempengaruhi tingkat kesadaran pasien (pasien tetap sadar penuh).1

Terdapat beberapa jenis demensia, yaitu demensia Alzheimer, gangguan kognitif ringan, demensia vaskular, demensia Parkinson, demensia dengan badan Lewy, demensia frontotemporal, serta demensia akibat penyakit atau sebab yang lain.1

Demensia Alzheimer merupakan jenis demensia yang paling banyak dijumpai dengan total hampir 60-70% dari keseluruhan demensia.3

Faktor risiko demensia dapat dipengaruhi oleh umur. Faktor risiko demensia pada usia di bawah 45 tahun adalah tingkat pendidikan yang rendah. Pada usia 45-65 tahun, faktor risiko terjadinya demensia adalah hipertensi, obesitas, gangguan pendengaran, cedera kepala, dan penyalahgunaan alkohol. Pada lanjut usia (lansia) berusia di atas 65 tahun, faktor risiko demensia adalah rokok, depresi, kurangnya aktivitas fisik, mengisolasi diri dari kegiatan bersosialisasi, diabetes, dan polusi udara.4

Patofisiologi

Walaupun demensia dianggap sebagai gangguan hubungan fungsi intelektual dengan lesi otak di bagian tertentu, belum ada patofisiologi yang dianggap tepat dalam menjelaskan penyakit yang mendasari demensia.5,6 Berikut ini merupakan beberapa mekanisme yang dianggap menjadi proses demensia.

Gangguan memori merupakan ciri utama dari kebanyakan demensia, namun pada daerah lesi otak yang berbeda dapat menyebabkan gangguan fungsi bahasa. Hal ini menyebabkan gambaran klinis akibat penyakit serebral sebagian besar tergantung pada lokasi dan luasnya lesi.5

Demensia yang disebabkan oleh proses degeneratif seperti pada penyakit Alzheimer, tempat kerusakan utama terjadi di hipokampus, namun degenerasi nukleus kolinergik dari daerah frontal basal yang diproyeksikan ke hipokampus menyebabkan penurunan fungsi memori.5 Pada penyakit Alzheimer, ditemukan protein abnormal (amiloid-β dan protein tau) di otak yang mempengaruhi keparahan penyakit.7

Demensia akibat penyakit serebrovaskular arteriosklerotik, disebabkan oleh beberapa fokus infark di seluruh talamus, ganglia basal, batang otak, dan otak besar, termasuk area proyeksi motorik, sensorik, dan visual. Namun demensia ini tidak disebabkan oleh arteriosklerosis tanpa oklusi vaskular dan infark, melainkan merupakan efek kumulatif dari stroke berulang yang merusak kecerdasan.5

Demensia juga dapat terjadi karena terjadi lesi pada trauma serebral yang berat, atau kompresi substansia alba pada hidrosefalus kronis. Demensia juga dapat disebabkan oleh proses inflamasi pada sifilis, kriptokokosis, meningitis kronis lainnya, dan infeksi virus seperti ensefalitis HIV dan ensefalitis herpes simpleks.5

Gejala dan Komplikasi

Gejala penyakit demensia yang berjalan secara perlahan menyebabkan banyak orang merasa masalah ingatan yang dialami hanya bagian dari bertambahnya usia.2 Menurut WHO, gejala demensia dapat dibagi menjadi demensia ringan, sedang, atau berat. Pembagian gejala ini disesuaikan dengan tingkat gangguan neurokognitif dan fungsional, serta tingkat kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.8

Demensia Ringan

Pasien dengan demensia ringan masih mungkin untuk hidup mandiri. Pasien tersebut masih dapat mengambil bagian dalam komunitas atau kegiatan sosial. Pada demensia ringan, hal yang umum dialami pasien adalah kesulitan membuat keputusan yang kompleks, membuat rencana, atau mengurus keuangan (seperti menghitung uang kembalian dan membayar tagihan).

Demensia Sedang

Pasien dengan demensia sedang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mulai kehilangan memori secara signifikan, kesulitan untuk menentukan suatu pilihan, dan mudah bingung. Hal ini menyebabkan pasien tersebut memerlukan bantuan saat berada di luar rumah dan hanya mampu mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana.

Demensia Berat

Pasien dengan demensia berat biasanya ditandai dengan gangguan memori yang berat dan kadang disertai disorientasi waktu dan tempat. Pasien tersebut sudah tidak mampu membuat penilaian atau memecahkan masalah serta mengalami kesulitan dalam memahami apa yang terjadi di sekitar mereka. Pasien tersebut sepenuhnya bergantung kepada orang lain untuk perawatan pribadi dasar dalam kegiatan sehari-hari, seperti untuk mandi dan makan. Inkontinensia urin dan feses dapat muncul pada tahap ini.

Diagnosis

Diagnosis definitif dari jenis demensia hanya dapat dibuat pada otopsi.9 Riwayat klinis merupakan aspek yang sangat penting untuk evaluasi pasien dengan demensia.6,9 Diagnosis demensia dilakukan berdasarkan evaluasi klinis dari anamnesis serta pemeriksaan neurologis dan kognitif.2,10

A.  Anamnesis

Anamnesis harus mencakup secara rinci riwayat medis, keluarga, obat-obatan, dan alkohol.2,6 Beberapa hal yang dapat ditanyakan pada saat anamnesis adalah apa masalah yang terjadi pada pasien, mengapa pasien baru datang sekarang, sejak kapan keluhan ini terjadi, bagaimana pasien dan keluarga mengatasi situasi tersebut, di mana masalah terjadi, dan siapa yang mengeluhkan lupa pada pasien.10

Beberapa hal tambahan yang perlu ditanyakan dalam sejarah meliputi:10

• Pendidikan dan Pekerjaan

Riwayat pendidikan dan pekerjaan memberikan petunjuk mengenai fungsi kognitif di masa lampau yang dapat mempengaruhi hasil skrining kognitif.

• Nafsu Makan

Penurunan nafsu dan berat badan dapat terjadi pada tahap awal beberapa demensia dan perubahan pola makan pada makanan manis mungkin terjadi pada behavioral varian frontotemporal dementia (bvFTD).

• Suasana Hati

Kecemasan dan depresi dapat mempengaruhi fungsi memori, dan mungkin bersifat reversibel dengan pengobatan yang tepat.

• Pola Tidur

Gangguan tidur dapat merusak memori, misalnya pada depresi atau gangguan terkait tidur tertentu, seperti sindrom apnea tidur obstruktif.

•  Penggunaan Obat

Penggunaan obat tertentu dapat mengganggu kognisi, misalnya karena efek antikolinergik atau efek mengantuk.

B.  Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik ditujukan untuk memeriksa fungsi kognitif, fungsi neurologis, dan adanya penyakit sistemik lain yang dapat mempengaruhi demensia. Pemeriksaan kognitif mengidentifikasi keberadaan, keparahan, dan sifat gangguan kognitif (misalnya, memori versus bahasa), dan harus mempertimbangkan faktor budaya, bahasa, pendidikan, dan faktor lain seperti kecemasan dan kurang tidur.2,10

Salah satu alat skrining yang umum digunakan adalah Montreal Cognitive Assessment (MoCA). Skrining ini membutuhkan sekitar 10 menit untuk diberikan dan berguna dalam deteksi dini gangguan kognitif. Selain MoCA, terdapat skrining Mini-Mental State Examination (MMSE) yang dikembangkan lebih dari 4 dekade yang lalu.2

Pemeriksaan neurologis mengevaluasi bukti objektif masalah neurokognitif, seperti afasia, apraksia, dan agnosia. Pemeriksaan neurologis berguna untuk menunjukkan adanya tanda-tanda neurologis fokal atau parkinsonisme.2

Selain pemeriksaan kognitif dan neurologis, pemeriksaan fisik secara menyeluruh juga tetap dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit vaskular sistemik dan tanda-tanda sistemik yang mungkin berhubungan dengan penyebab demensia yang lebih jarang (misalnya, perubahan warna mata cokelat akibat penyakit Wilson). Pemeriksaan fisik lain untuk menyingkirkan penyebab jantung, metabolik, dan lainnya, dapat dipertimbangkan untuk menyingkirkan penyebab reversibel dari gangguan kognitif seperti gangguan kejiwaan (depresi) dan disfungsi tiroid.2

C.  Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis demensia. Pemeriksaan penunjang biasanya mencakup pemeriksaan darah (B12 dan TSH) dan pencitraan neurologis otak menggunakan MRI atau CT untuk mengidentifikasi atrofi kortikal dan hipokampus (seperti pada penyakit Alzheimer) atau penyebab demensia yang berpotensi diobati (seperti tumor yang dapat direseksi, atau hidrosefalus tekanan normal yang dapat di-shunt).2

Pengujian cairan serebrospinal (CSF) dapat dipertimbangkan untuk menunjang diagnosis penyakit Alzheimer (tingkat amiloid rendah dan tau tinggi), penyakit neurodegeneratif lainnya (seperti peningkatan protein 14-3-3 pada penyakit Creutzfeldt-Jakob), atau etiologi lainnya. Tes genetik dapat dilakukan pada pasien muda dengan riwayat keluarga mengalami demensia pada onset muda.2

Tata Laksana dan Perawatan

Pasien dengan demensia dapat menunjukkan berbagai gangguan kognitif dan gejala neuropsikiatri yang perlu ditangani lebih lanjut.1 Perawatan pasien dengan demensia harus didasarkan pada evaluasi psikiatris, neurologis, dan medis umum yang menyeluruh. Berikut ini merupakan tata laksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan demensia:1,2,11

A.  Pengobatan Gejala Kognitif

Terapi dapat menggunakan inhibitor cholinesterase (donepezil, rivastigmine, atau galantamine) ataupun antagonis N-methyl-D-aspartate (memantine).

B.  Pengobatan Psikosis dan Agitasi

Obat antipsikotik, seperti haloperidol, risperidone, clozapine, olanzapine, ataupun quetiapine, direkomendasikan untuk pengobatan psikosis pada pasien dengan demensia dan untuk pengobatan agitasi.

C.  Pengobatan Depresi

Pasien demensia dengan depresi dapat diberikan medikasi dengan menggunakan SSRI karena dianggap dapat ditoleransi lebih baik daripada antidepresan lainnya.

D.  Pengobatan Gangguan Tidur

Pasien dengan gangguan tidur dapat diberikan terapi benzodiazepine jangka pendek. Benzodiazepine tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang karena risiko sedasi siang hari, toleransi, insomnia rebound, kognisi memburuk, jatuh, dan delirium. Penggunaan diphenhydramine sebagai terapi gangguan tidur pada pasien demensia tidak dianjurkan karena sifat antikolinergiknya. Selain itu, terapi nonfarmakologis seperti melakukan olahraga, menghindari rokok dan alkohol, ataupun cognitive behavioral therapy (CBT) juga dapat dipertimbangkan untuk menangani masalah gangguan tidur.



Referensi:

1. Rabins P, Deborah Blacker C, Barry RS, Rummans T, Schneider LS, Tariot PN, et al. PRACTICE GUIDELINE FOR THE Treatment of patients with Alzheimer’s disease and other dementias. 2nd Ed. American Psychiatric Association; 2010.

2. Arvanitakis Z, Shah RC, Bennett DA. Diagnosis and management of dementia: Review. JAMA - Journal of the American Medical Association. 2019;322(16):1589–99.

3. World Health Organization. Dementia [Internet]. 2021 [cited 2022 Aug 4]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia

4. Livingston G, Huntley J, Sommerlad A, Ames D, Ballard C, Banerjee S, et al. Dementia prevention, intervention, and care: 2020 report of the Lancet Commission. Vol. 396, The Lancet. Lancet Publishing Group; 2020. p. 413–46.

5. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, Prasad S. Adams and Victor’s principles of Neurology. 11th ed. McGraw Hill; 2019.

6. Freeman KJ, Paddock DN, Davis CH. Dementia. Ulster Med J [Internet]. 2015 Jan 1 [cited 2022 Sep 12];84(2):79. Available from: /pmc/articles/PMC4488926/

7. Elahi FM, Miller BL. A clinicopathological approach to the diagnosis of dementia. Nat Rev Neurol. 2017;13(8):457.

8. World Health Organization. ICD-11 for mortality and morbidity statistics [Internet]. 2022 [cited 2022 Sep 7]. Available from: https://icd.who.int/browse11/l-m/en#/http://id.who.int/icd/entity/546689346

9.  Emmady PD, Tadi P. Dementia [Internet]. StatPearls [Internet]. 2022 [cited 2022 Sep 11]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557444/

10. Larner AJ. Dementia in clinical practice: A neurological perspective. 3rd Ed. Cham: Springer International Publishing; 2018.

11.  Butterworth S. Guidelines for the pharmacological management of dementia. Hertfordshire: Hertfordshire Partnership NHS; 2020.