Detail Article

Kasus Pertama Reaktivasi Virus Hepatitis B (HBV) yang Diinduksi COVID-19 Mendapat Terapi Entecavir

dr. Fitri Afifah
Okt 21
Share this article
77dd42840b8be9aa57d6196c6f2b7404.jpg
Updated 21/Okt/2020 .

Menurut American College of Gastroenterology, 20-30% pasien dengan COVID-19 mengalami kenaikan enzim hati yang abnormal. Kerusakan hati menyebabkan kadar alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) yang abnormal telah dilaporkan terjadi pada 14-53% pasien COVID-19. Huang dan rekan melaporkan kenaikan kadar AST terjadi pada 62% pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) dibandingkan dengan pasien di perawatan non-ICU sebesar 25%. 

Severe acute respiratory syndrome-coronavirus-2 (SARS-CoV-2) memiliki afinitas yang kuat dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang terekspresi pada beragam tipe sel termasuk hepatosit dan kolangiosit. Oleh sebab itu, peningkatan reseptor ACE2 di hati dapat berkontribusi pada aktivitas enzim hati yang abnormal pada pasien COVID-19. Kasus pertama reaktivasi virus hepatitis B (HBV) yang diinduksi COVID-19 telah dilaporkan.


Laki-laki berusia 36 tahun yang sebelumnya sehat datang ke departemen gawat darurat dengan penurunan status mental. Dua hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami muntah secara intermiten, pasien kemudian memburuk hingga tidak sadarkan diri. TIdak ada riwayat demam, batuk, sesak napas, atau sensitif terhadap cahaya. Pada gambaran awal, pemeriksaan fisik menunjukkan pasien hipotermia (35,5oC), nadi 88 kali/menit, tekanan darah 136/78 mmHg, napas 20 kali/menit dengan oksigen ruangan, dan saturasi oksigen 98%. Kulitnya tampak kekuningan dengan sklera ikterik. Batas hati tidak terpalpasi dan tidak teraba hepatomegali. Pemeriksaan thoraks dan kardiovaskular dalam batas normal. Skor Glasgow Coma Scale (GCS) 7/15.


Hasil laboratorium didapatkan AST 4.933 U/L (normal: <50 U/L), ALT 4.758 U/L (normal: <40 U/L), total bilirubin 183,9 mmol/L (normal: <21 mmol/L) dengan direct bilirubin 145 mmol/L (normal: <5 mmol/L), alkaline phosphatase (ALP) 212 U/L (normal: 40-129 U/L), dan albumin 33 g/L (normal: 35-52 g/L). Ditambah dengan international normalized ratio (INR) >10 (normal: 0,82-1,20) dan ammonia 74 mmol/L (normal: 16-60 mmol/L). Pemeriksaan darah lengkap, protein total, dan kimia darah dalam batas normal. CT-scan kepala, X-ray dada, dan ultrasonografi hati dalam batas normal. Pemeriksaan hati tambahan menunjukkan positif hepatitis B (HB) surface antigen, positif HB core Ab (IgM), negatif HB envelop (HBe) Ag, dan positif HBe Ab, menunjukkan adanya reaktivasi infeksi HBV. Hepatitis B DNA viral load 2.490 IU/mL, negatif HB envelop (HBe) Ag, mengkonfirmasi diagnosis infeksi HBV akut. Hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) COVID-19 juga positif.


Karena penurunan status mental dan peningkatan aktivitas enzim hati, pasien dirawat di ICU. Pasien diberikan laktulosa melalui pipa nasogastik (NGT) dan diberikan cryoprecipitate pada hari pertama. Pada hari kedua, entecavir (1 mg satu kali/hari), vitamin K (10 mg/hari) dan thiamine intravena (100 mg/ hari) mulai diberikan. Pada hari ketiga, GCS membaik menjadi 11/15, dengan perbaikan parameter fungsi hati kemudian pasien dipindahkan ke perawatan COVID-19 biasa. Pada hari ketujuh, kesadaran pasien kembali dengan GCS 15/15, parameter fungsi hati menunjukkan perbaikan tampak dengan kadar transaminase dan bilirubin. 3 dari 4 sampel nasofaring masih positif SARS-CoV-2 dalam pemeriksaan PCR, namun X-ray dada masih normal. Pada hari ke-16, parameter fungsi hati pasien tampak pada fase cholestatic dengan penurunan kadar transaminase. Pasien juga sudah terkonfirmasi negatif COVID-19 melalui dua pemeriksaan PCR dan pasien sudah pindah ke ruang rawat umum.


Patogenesis yang mendasari reaktivasi HBV pada COVID-19 masih belum jelas. Kasus ini menggambarkan pentingnya indeks kecurigaan pada pasien dengan cedera hati akut pada pasien COVID-19, yang sering tampak dengan derajat abnormalitas hasil pemeriksaan hati yang bervariasi. Pasien ini mengalami gejala yang atipikal (penurunan status mental), di mana disebabkan oleh reaktivasi HBV yang dibuktikan secara imunologi. Pasien yang terkena COVID-19 dengan gejala pencernaan mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama hingga onset gejala muncul, sehingga diagnosis juga akan terlambat karena gejala yang muncul juga tidak spesifik.


Sebuah tinjauan baru-baru ini menyimpulkan bahwa gejala pencernaan dan enzim hati yang abnormal mungkin memainkan peran penting pada sejumlah besar pasien dengan COVID-19, terutama pada mereka yang memiliki gejala atipikal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami penyebab cedera hati pada pasien dengan penyakit hati yang medasari dan baru tertular COVID-19.


Kesimpulannya, reaktivasi HBV diinduksi oleh COVID-19 pada pasien muda yang mengalami perubahan status mental dan peningkatan kadar enzim hati. Kasus ini menunjukkan hati mungkin menjadi target organ COVID-19 dan pasien dengan fungsi hati abnormal cenderung memiliki risiko lebih tinggi untuk SARS-CoV-2. Perhatian yang lebih besar harus diberikan untuk perawatan kelompok pasien ini, presentasi hepatitis akut memerlukan isolasi dan pengujian SARS-CoV-2 RNA di era COVID


Image : Ilustrasi (<a href='https://www.freepik.com/photos/background'>Background photo created by freepik - www.freepik.com</a>)

Referensi:

1. Aldhaleei WA, Alnuaimi A, Bhagavathula AS. COVID-19 induced Hepatitis B virus reactivation: A novel case from the United Arab Emirates. Cureus 2020;12(6):e8645. DOI 10.7759/cureus.8645

2. Cheung KS, Hung IF, Chan PP, Lung KC, Tso E, Liu R, et al. Gastrointestinal manifestations of SARS-CoV-2 infection and virus load in fecal samples from the Hong Kong cohort and systematic review and meta-analysis. Gastroenterology. 2020;159:81-95.

3. Mao R, Qiu Y, He JS, Tan JY, Li XH, Liang J, et al. Manifestations and prognosis of gastrointestinal and liver involvement in patients with COVID-19: A systematic review and meta-analysis. The lancet Gastroenterology & hepatology. 2020;5:667-78.


Share this article
Related Articles