Disease Info
Bronkiektasis

Pendahuluan dan Fakta

Bronkiektasis adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi bronkus secara permanen, disertai proses inflamasi pada dinding bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Manifestasi klinis primer bronkiektasis adalah terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau refrakter, dengan gejala sisa yang terjadi adalah batuk darah, obstruksi saluran napas kronis, dan gangguan bernapas secara progresif.

Prevalensi bronkiektasis dilaporkan semakin meningkat di Amerika Serikat. Seitz dkk melaporkan prevalensi bronkiektasis meningkat setiap tahun mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dengan kenaikan sebesar 8,74%, dengan puncaknya usia 80-84 tahun, lebih banyak dijumpai pada wanita, dan ras asia.

Patofisiologi

Ada beberapa jalur yang menerangkan terjadinya bronkiektasis. Secara luas, bronkiektasis dapat terjadi sehubungan dengan kejadian atau episode insidental yang tidak berhubungan dengan kondisi dasar intrinsik pertahanan tubuh penderita, dapat pula berkaitan dengan kondisi dasar konstitusional genetik penderita. Perbedaan dua mekanisme diatas merupakan elemen penting yang menentukan prognosis dan penatalaksanaan penderita. Hal dasar yang perlu dipahami dalam patogenesis bronkiektasis adalah apakah infeksi yang bersangkutan adalah suatu penyebab bronkiektasis atau infeksi pada penderita tersebut berhubungan dengan kondisi predisposisi yang mendasar.

Udara inspirasi sering terkontaminasi dengan gas toksik, partikel, dan mikroba. Lini pertama pertahanan paru dibentuk oleh bentuk kompleks saluran napas atas dan bawah yang sedemikian sehingga membentuk aliran udara dengan turbulensi tinggi. Bentuk saluran napas yang khas tersebut memungkinkan impaksi, sedimentasi, dan deposisi partikel dan mikroorganisme ke mukosa saluran napas. Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi pada mukosa selanjutnya akan dibuang melalui mekanisme gerakan mukosilier atau langsung keluarkan dari saluran napas melalui mekanisme bersin, batuk, atau penelanan. Saluran napas dilapisi atas epitel bersilia, di mana stuktur dan fungsi dari silia ini telah banyak dipelajari. Fungsi silia dan gerakan mukosilier juga bergantung pada viskositas yang rendah dari lapisan cairan perisilier, lapisan cairan yang terhidrasi cukup memungkinkan separasi yang baik antara epitel dan lapisan viscous-mucous yang melapisi silia. Apabila lapisan perisilier tidak merata (seperti pada fibrosis kistik), lapisan perisilier yang tipis dapat menyebabkan silia terjerat pada lapisan mukus, sehingga menyebabkan gerakan mendorong mukus terganggu. 

Patogenesis yang terjadi berkaitan kombinasi inflamasi berulang dinding bronkus dan fibrosis parenkim, menghasilkan dinding bronkus yang lemah dan berlanjut menjadi dilatasi yang irreversibel. Tipe sel inflamasi yang banyak ditemukan pada bronkiektasis adalah neutrofil pada lumen saluran napas yang menyebabkan purulensi sputum, dan makrofag, sel dendritik, serta limfosit pada dinding saluran napas. Sel makrofag, sel dendritik, dan limfosit khas terlihat pada pasien dengan tubuler bronkiektasis dan menjadi penyebab utama obstruksi pada saluran napas kecil.

Peran neutrofil dan elastase neutrofil sangat menonjol dalam patogenesis bronkiektasis. Terlepas dari penyebab utama dari bronkiektasis, “vicious circle” bronkiektasis didominasi dengan masuknya neutrofil yang dirangsang oleh pelepasan kemokin seperti interleukin-8 (IL-8) dan leukotrien B4 (LTB4) yang diproduksi oleh makrofag, dan IL-17 yang diproduksi oleh sel Th17. Migrasi sel-sel tersebut dari aliran darah ke dalam saluran napas difasilitasi oleh peningkatan ekspresi E-selectin dan intercellular adhesion molecule-1 sel endotel, yang masing-masing terikat pada L-selectin dan CD11 pada neutrofil. Neutrofil kemudian memasuki saluran napas melalui celah diantara sel epitel. Neutrofil memiliki jangka hidup yang relatif singkat serta mengalami apoptosis dan nekrosis. Protease PMN seperti elastase, cathepsin, matriks metaloproteinase, dan proteinase-3 dapat menyebabkan kerusakan sel epitel dan menginduksi inflamasi lebih lanjut. Selain kerusakan jaringan, elastase dapat merangsang hipersekresi mukus, menghambat fungsi silia, dan menghambat efferocytosis (yaitu, fagositosis neutrofil yang telah mengalami apoptosis) oleh phosphatidylserine (PS) pada permukaan sel apoptosis, mencegah pengikatan reseptor PS (PSRs) pada permukaan makrofag. Elastase juga menghambat bacterial killing dengan menghambat opsonisasi bakteri melalui degradasi opsonins immunoglobulin G (IgG), komplemen komponen iC3b serta pembelahan reseptor Fcγ (FcγRs) dan reseptor komplemen (CR) 1.

Gejala Klinis dan Komplikasi

Gambaran klinis bronkiektasis sangat bervariasi, beberapa pasien tidak menunjukkan gejala sama sekali atau gejala hanya dirasakan saat eksaserbasi, dan beberapa pasien mengalami gejala setiap hari. Bronkiektasis harus dicurigai pada setiap pasien dengan batuk kronis dengan produksi sputum atau infeksi saluran napas berulang. Hemoptisis, nyeri dada, penurunan berat badan, bronkospasme, sesak napas dan penurunan kemampuan fisik juga didapatkan pada pasien bronkiektasis. Sputum dapat bervariasi mulai dari mukoid, mukopurulen, kental, dan liat. Gambaran sputum 3 lapis yang meliputi lapisan atas yang berbusa, lapusan tengah mukus, dan lapisan bawah purulen merupakan gambaran patognomonik, namun tidak selalu dapat dijumpai. Batuk dengan bercak darah dapat disebabkan erosi saluran napas terkait infeksi akut. Nyeri dada pleuritik ditemukan pada beberapa pasien dan menunjukkan proses peregangan saluran napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan pleura viseral. Dimasa lampau, jari tabuh merupakan tanda klinis yang sering dihubungkan dengan bronkiektasis, namun penelitian menunjukkan prevalensnya hanya 3%. Sesak napas dan wheezing temukan pada 75% pasien sehingga sering rancu dengan gejala klinis PPOK

Eksaserbasi terjadi bila didapatkan 4 atau lebih gejala berikut: Batuk dengan peningkatan dahak, sesak bertambah, peningkatan suhu badan > 38˚C, peningkatan wheezing, penurunan kemampuan fisik, fatigue, penurunan fungsi paru, dan terdapat tanda-tanda infeksi akut secara radiologis. 

Diagnosis

Aspek diagnostik lain yang perlu diperhatikan adalah gejala dan tanda klinis penyakit yang mendasarinya seperti fibrosis kistik, defisiensi imun, atau penyakit jaringan ikat.

Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah rutin, walaupun tidak spesifik, sangat penting untuk memonitor masing-masing individu. Kadar hemoglobin dapat rendah sehubungan dengan anemia pada penyakit kronik, dapat pula terjadi polisitemia sebagai akibat dari hipoksia kronik. Peningkatan sel darah putih mengindikasikan keberadaan infeksi akut. Keadaan limfopenia merupakan awal kecurigaan untuk pemeriksaan defisiensi imun. Eosinofilia dapat ditemukan pada (walaupun tidak spesifik) allergic bronchopulmonary aspergillosis. CRP adalah protein fase akut yang sering diperiksakan pada penderita penyakit saluran napas yang mengalami eksaserbasi akut untuk menentukan ada tidaknya respons inflamasi sistemik. Pada pasien bronkiektasis stabil didapatkan kadar CRP diatas nilai normal.

Pemeriksaan Radiologis

Diagnosis bronkiektasis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis, dengan gold standard menggunakan HRCT. Pada foto toraks bronkiektasis dapat terlihat dengan adanya gambaran tram track, densitas garis paralel, densitas berbentuk ring, dan gambaran struktur tubuler; gambaran-gambaran tersebut mencerminkan dinding bronkial yang mengalami penebalan dan dilatasi abnormal. Gambaran ring shadow dapat samar-samar berukuran 5 mm sampai dengan bentukan cysts yang jelas. Gambaran opasitas tubuler yang membentuk percabangan sesuai dengan bentuk percabangan bronkial dapat terlihat sebagai akibat dari bronkus yang terisi cairan mucous. Gambaran vaskuler dapat kurang terlihat sebagai akibat terjadinya fibrosis peribronkial. Tanda-tanda eksaserbasi/ komplikasi seperti bercak densitas terkait impaksi mucoid dan konsolidasi, volume loss terkait obstruksi bronkus oleh sekret atau sikatrisasi kronik juga sering terlihat. Semakin difus gambaran bronkiektasis akan tampak gambaran hiperinflasi dan oligemia sejalan dengan obstruksi saluran napas kecil yang berat. Foto toraks berperan dalam kecurigaan awal bronkiektasis, follow up dalam penatalaksanaan bronkiektasis, dan penanganan pada saat eksaserbasi.

Dilatasi bronkus, yang merupakan tanda kardinal bronkiektasis, pada HRCT dapat diidentifikasi dengan adanya rasio bronkoarterial > 1 (BAR > 1), kurangnya bronchial tapering, dan terlihatnya saluran napas sampai dengan 1 cm dari permukaan pleura atau berdekatan dengan permukaan pleura mediastinal. Rasio bronkoarterial adalah perbandingan antara diameter bronkial dengan diameter arteri yang berdampingan, rasio > 1 adalah abnormal dan dikenal dengan istilah signet ring sign.

Pemeriksaan Fungsi Paru

Pemeriksaan spirometri dapat memperlihatkan gambaran keterbatasan aliran napas dengan penurunan FEV1 dan penurunan rasio FEV1/FVC, namun pada beberapa pasien dapat ditemukan gambaran spirometri normal. FVC dapat normal atau sedikit menurun mengindikasikan suatu impaksi mukus. Hipereaktivitas bronkus juga dilaporkan didapatkan pada penderita bronkiektasis. FEV1 memiliki korelasi terhadap keparahan abnormalitas pada HRCT. Penurunan volume paru mengindikasikan penyakit paru interstitial sebagai penyakit dasarnya, sedangkan peningkatan volume paru mengindikasikan suatu air trapping atau impaksi mukus pada saluran napas kecil. Pemeriksaan 6 minute walking test dilakukan untuk melihat kapasitas fungsional paru dan dapat diterapkan pada bronkiektasis. Penurunan kapasitas latihan berkorelasi dengan tingkat keparahan pada HRCT.

Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sputum adalah pemeriksaan yang sangat penting dalam penanganan bronkiektasis. Penelitian yang dilakukan di 4 pusat kesehatan dengan spesialisasi bronkiektasis (di Hongkong; Tyler, Texas; Barcelona, Spanyol; dan Cambridge, Inggris) mendapatkan data bahwa H influenzae adalah patogen yang paling sering terisolasi (yaitu 29% sampai dengan 42% kasus). Patogen lain yang sering teridentifikasi antara lain Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas aeruginosa. Patogen-patogen tersebut mempunyai kemampuan menghambat bersihan mukosilier, merusak epitel respirasi, dan membentuk biofilm yang dapat mempermudah infeksi persisten melalui mekanisme inhibisi imunitas innate serta meningkatkan resistensi antibiotik.

Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mendiagnosis kelainan spesifik tertentu sesuai dengan gambaran klinis yang mendukung. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain: (1) Pada kecurigaan fibrosis kistik dilakukan pemeriksaan kadar konsentrasi ion klorida (Cl-) dengan menggunakan pilocarpine ionthophoresis. Kadar ion klorida > 60 mM menegakkan diagnosis fibrosis kistik. (2) Penderita dengan kelainan imunitas humoral dapat diperiksa kadar Imunoglobulin dalam darah, meliputi IgM, IgG, dan IgA. (3) Diagnosis Primary cilliary diskinesia (PCD) berdasarkan pada kadar nitric oxide udara ekshalasi dan pemeriksaan spesimen biopsi nasal dengan menggunakan mikroskop elektron. Kadar nitric oxide yang rendah memiliki nilai diagnostik untuk PCD, dan diagnosis ditegakkan dengan terlihatnya defek pada dynein arms silia pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. (5) Kadar IgE melebihi 1000 IU adalah suatu marker yang spesifik untuk Allergic bronchopumonary aspergillosis. (6) Pemeriksaan kadar serum α1-antitrypsin dan pemeriksaan genetik untuk mendiagnosis bronkiektasis defisiensi α1-2antitrypsin.

Tatalaksana dan Perawatan

Penatalaksanaan Bronkiektasis Penatalaksanaan bronkiektasis meliputi: identifikasi keadaan eksaserbasi akut dan penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan mikroba, terapi terhadap kondisi yang mendasarinya, mengurangi respons inflamasi yang berlebihan, peningkatan higienitas bronkial, mengontrol perdarahan bronkial, terapi bedah untuk menghilangkan segmen paru atau lobus paru yang mengalami kerusakan hebat yang dapat menjadi sumber infeksi atau perdarahan.

Antibiotik

Antibiotik memiliki peranan krusial dalam penatalaksanaan bronkiektasis, antibiotik dapat menghambat proses lingkaran setan infeksi, inflamasi, dan kerusakan epitel saluran napas. Penggunaan antibiotik diperlukan sebagai terapi saat eksaserbasi maupun sebagai terapi jangka panjang. Penggunaan antibiotik lebih awal pada eksaserbasi dapat membatasi ‘vicious circle’. Antibiotik dilaporkan dapat menurunkan kadar CRP, sel inflamasi pada sputum, volume sputum, purulensi sputum dan densitas bakteri. Penderita dengan sputum purulen setelah pemberian antibiotik lebih pendek waktu eksaserbasi berikutnya dibandingkan dengan penderita dengan sputum mukoid. Data klinis menunjukkan pemberian antibiotik dosis tinggi dan jangka waktu yang lebih lama memberikan hasil yang lebih baik, hal tersebut disebabkan sulitnya mencapai konsentrasi antibiotik yang cukup ke dalam lumen yang bronkiektasis, bakteri yang sering resisten, serta adanya biofilm yang ‘melindungi’ bakteri. Lama pemberian terapi antibiotik sampai saat ini masih menjadi perdebatan, namun demikian British Thoracic Society guideline for non-CF Bronchiectasis 2010 menyebutkan pada kondisi eksaserbasi antibiotik diberikan selama 14 hari.

Higienitas Bronkopulmoner

Penatalaksanaan bronkiektasis juga melibatkan usaha-usaha untuk menghilangkan sekret saluran napas. Usaha yang dapat dilakukan antara lain latihan batuk efektif, postural drainase, fisioterapi dada, mengencerkan sekret saluran napas, serta pemberian bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi pada saat eksaserbasi akut. Penderita dengan sekret kental dan mucous pluging dapat dibantu dengan nebulisasi salin dan tetap mempertahankan hidrasi sistemik yang mencukupi.

Tindakan Pembedahan

Reseksi bedah pada bronkiektasis hanya dilakukan dengan pertimbangan khusus, diantaranya pada pasien dengan kelainan terlokalisasi yang gagal dengan terapi medis dan menderita gejala klinis yang memperburuk kualitas hidup pasien. Konsep dasar tindakan bedah pada bronkiektasis adalah menghilangkan area parenkim paru yang rusak yang menyebabkan penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik. Jaringan paru yang rusak menjadi area reservoir bakteri yang menyebabkan infeksi berulang. Beberapa hal yang memengaruhi suksesnya tindakan bedah antara lain: reseksi komplit area yang terlibat, intervensi awal untuk mencegah terjadinya perkembangan mikroba resisten dan penyebaran ke segmen paru yang berdekatan, terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan kultur dan sensitivitas, terapi antibiotik tetap dilanjutkan setelah operasi, perbaikan suplementasi nutrisi preoperasi sesuai indikasi, antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.



Referensi:

Hariyanto W, Hasan H. Bronkiektasis. Jurnal Respirasi 2016:2:2: 52- 60