Detail Article

Keparahan Pneumonia Covid-19 Tergambar Dengan Kelainan EKG

dr. Jane Cherub.
Des 24
Share this article
adc7b251adae552eec37e82d66e6c5d8.jpg
Updated 29/Des/2020 .

COVID-19 memiliki gambaran klinis klasik menyerupai sindrom flu pada hampir semua kasus derajat infeksi ringan, namun pada sekitar 15% kasus dijumpai komplikasi radang paru (pneumonia) interstisial dengan tingkat gagal napas yang bervariasi. Beberapa laporan kasus dan ulasan sistematik mengarahkan perhatian kepada efek samping jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) yang berhubungan dengan COVID-19. Secara spesifik, COVID-19 telah dikaitkan dengan blok jantung total, sindrom koroner akut, radang otot jantung (miokarditis), gagal jantung dekompensasi, dan emboli paru. Pemeriksaan ekokardigrafi (EKG) memiliki peranan penting dalam mendiagnosis komplikasi kardiovaskular pada fase akut. Beranjak dari hal ini, beberapa peneliti di Italia merancang sebuah studi untuk mempelajari fitur EKG dan perubahannya selama perawatan di rumah sakit pada penderita COVID-19 yang mengalami pneumonia.

Sebanyak lima puluh pasien yang masuk perawatan rumah sakit dengan diagnosis pneumonia COVID-19 di Department of Internal Medicine of the Maugeri Care and Research Institute of Tradate di Italia pada periode 15 Maret hingga 15 April 2020 diikutsertakan dalam analisa studi ini. Pada awal studi, semua pasien menjalani pemeriksaan klinis mendetail meliputi pemeriksaan EKG 12 sadapan, uji laboratorium, dan pemeriksaan analisa gas darah. EKG juga direkam pada saat pasien dipulangkan dari perawatan rumah sakit dan jika terjadi perburukan kondisi klinis. Rerata usia pasien 64 tahun dan 72% berjenis kelamin laki-laki. Pada baseline, 30% pasien memiliki kelainan gelombang ST-T pada EKG dan 33% dengan hipertrofi bilik kiri jantung. Selama perawatan inap di rumah sakit, 26% pasien menderita abnormalitas EKG baru termasuk fibrilasi atrium, perubahan gelombang ST-T, sindrom taki-bradi, dan perubahan-perubahan yang konsisten dengan perikarditis (radang selaput jantung) akut. Satu pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif karena mengalami sumbatan paru masif dengan right bundle branch block, dan satu pasien lainnya dengan infark miokard non elevasi segmen ST. Pasien-pasien yang tidak mengalami perubahan EKG selama perawatan inap di rumah sakit lebih banyak yang mendapat terapi antiretroviral (68% banding 15%, p= 0,001) dan hidroksiklorokuin (89% banding 62%, p= 0,026) dibandingkan pasien-pasien yang mengalami kelainan EKG. Kebanyakan fitur-fitur EKG terukur pada saat pasien dipulangkan dari perawatan rumah sakit tidak menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan baseline (p>0,0) kecuali sedikit penurunan pada Cornell voltages (13±6 banding 11±5 mm; p = 0,0001) dan peningkatan sedang pada interval PR. Mayoritas (54%) pasien dengan abnormalitas EKG telah negatif 2 kali berturut-turut pada uji apusan (swab) nasofaring. Abnormalitas EKG pertama kali dideteksi setelah rata-rata 30 hari sejak awitan gejala (rentang 12-51 hari) COVID-19.


Dari hasil-hasil yang dijumpai pada studi tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa evolusi abnormalitas EKG tidak berhubungan dengan derajat keparahan infeksi saluran napas pada COVID-19. Abnormalitas EKG menunjukkan onset lambat, menggambarkan spektrum komplikasi jantung dan pembuluh darah yang luas serta seringkali terjadi setelah apusan nasofaring negatif. Namun, dalam menginterpretasi hasil studi ini terbatas pada ras Kaukasian (96% partisipan) sehingga hasilnya belum tentu dapat diperluas ke kelompok-kelompok etnis yang berbeda, selain keterbatasan periode obeservasi selama perawatan di rumah sakit.


Berdasarkan temuan-temuan tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa meskipun terdapat keterlibatan multi-organ pada COVID-19, evolusi abnormalitas EKG tidak terkait dengan derajat keparahan infeksi saluran pernapasan. Abnormalitas EKG menunjukkan awitan lambat, menggambarkan spektrum yang luas dari komplikasi kardiovaskular dan biasanya terjadi setelah swab nasofaring negatif. Kendatipun, hasil studi ini harus diinterpretasikan dalam konteks keterbatasan ras Kaukasian (96% partisipan) dan periode obeservasi pada fase rumah sakit. Diperlukan studi lanjutan untuk dapat memvalidasi temuan ini pada etnis dan fase perawatan COVID-19 yang berbeda.



Image: Ilustrasi (sumber: https://www.medicinenet.com/electrocardiogram_ecg_or_ekg/article.htm)

Referensi: Angeli F, Spanevello A, De Ponti R, Visca D, Marazzato J, Palmiotto G, et al. Electrocardiographic features of patients with COVID-19 pneumonia. Eur J Intern Med. 2020 Jun 20 doi: 10.1016/j.ejim.2020.06.015


Share this article
Related Articles
Related Products
530f20513fead3434b06bf12725f7bac.jpg
c7bfd98f094ead9369504d1610e2abcf.jpg
bf395dbe06d3485fd0bfef5a98e319f2.jpg
601cfdc501ad4c6d12899f460223cdeb.jpg
0bcab55e2964aa38590fc4b6a2e4603a.jpg
590faecd8786a474f59b61107c49058d.jpg
171eb348e9057e58c0ede120e034c913.jpg
cf291b982807e44a8d0caa7616e49c86.jpg
0d3e9f3b575fc4ca83e225c2fd676185.jpg
6aa6e520713ff3af0d21664234640e93.jpg