Detail Article
Ticagrelor dan Clopidogrel untuk Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Elektif, Ini Perbandingannya
dr. Lyon Clement
Feb 16
Share this article
b17169c4c6eab88e7cfbf121d1f55327.jpeg
Updated 16/Feb/2022 .

Percutaneous coronary intervention (PCI) merupakan salah satu pilihan terapi yang cukup aman dan sering dilakukan untuk penyakit jantung koroner yang stabil. Namun, setelah ditemukannya pengukuran highly-sensitive cardiac troponin, kejadian mionekrosis periprosedural pasca-PCI cukup sering ditemukan. 

Walaupun seringkali tidak bergejala, mionekrosis periprosedural dapat meningkatkan waktu perawatan di RS, bahkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular di masa depan dan menimbulkan kematian. Oklusi arteri koroner cabang, aliran koroner yang melambat, serta embolisasi merupakan beberapa mekanisme komplikasi aterotrombotik dan risikonya dapat dikurangi dengan terapi antiplatelet yang lebih efektif.

 

Terdapat risiko perdarahan yang lebih besar, prasugrel dan ticagrelor, dengan kerja yang lebih poten dengan onset yang lebih cepat dibandingkan clopidogrel, kini menjadi terapi standar untuk PCI pada pasien dengan sindrom koroner akut. Namun, belum ada rekomendasi yang kuat pada setting PCI elektif. Untuk itu, uji klinis ALPHEUS mengeksplorasi lebih jauh mengenai penggunaan ticagrelor dibandingkan dengan clopidogrel untuk menurunkan risiko nekrosis miokardium periprosedural pada pasien dengan PJK yang stabil yang menjalani PCI elektif.


Uji klinis ALPHEUS merupakan uji klinis fase 3b teracak, open-label, yang dilakukan di 49 RS di Perancis dan Republik Ceko. Uji klinis mengikutsertakan pasien dengan 1.910 pasien dengan PJK stabil, didefinisikan dengan nilai troponin jantung baseline yang lebih rendah dari batas atas nilai normal, yang diindikasikan untuk menjalani PCI elektif.


Subjek diacak dalam rasio 1:1 ke dalam 2 kelompok terapi, yaitu:

· Kelompok yang mendapatkan ticagrelor (n = 956), dengan loading dose 180 mg sebelum PCI dan 2 x 90 mg setelahnya selama 30 hari

· Kelompok yang mendapatkan clopidogrel (n = 954), dengan loading dose 300-600 mg (disesuaikan pertimbangan dokter) dan 1 x 75 mg setelahnya selama 30 hari.

Parameter keluaran efikasi primer yang diukur dalam uji klinis ini adalah kejadian infark miokard yang berhubungan dengan PCI (infark miokard tipe 4a atau 4b) atau cedera miokard berat dalam 48 jam pasca-PCI (atau dalam 48 jam setelah dipulangkan dari RS, apabila lebih dini dari 48 jam pasca-PCI). Sementara itu, parameter keluaran efikasi sekunder yang diukur dalam uji klinis ini adalah:

· Gabungan kejadian kematian, infark miokard (seluruh jenis), atau stroke, atau transient ischaemic attack (TIA)

· Gabungan kejadian kematian atau infark miokard (tipe 1,4, dan 5)

· Gabungan kejadian kematian, infark miokard (tipe 1, 4, dan 5), cedera miokardium berat, revaskularisasi segera, atau iskemia rekuren yang membutuhkan tindakan kateterisasi.


Keluaran keamanan utama yang diukur adalah kejadian perdarahan mayor yang termasuk dalam kriteria Bleeding Academic Research Consortium (BARC) 3 atau 5, sementara keluaran keamanan sekunder yang diukur adalah kejadian perdarahan minor (BARC 1 atau 2) dan kejadian perdarahan secara keseluruhan (BARC 1-5). Kondisi klinis dinilai pada 48 jam dan 30 hari pasca-PCI.


Setelah 48 jam, keluaran efikasi primer gabungan dari infark miokardium periprosedural dan cedera miokardium berat terjadi pada 334 (35%) dari 941 pasien di kelompok ticagrelor dan 341 (36%) dari 942 pasien di kelompok clopidogrel (OR 0,97; 95%CI 0,80-1,17; p=0,75). Maka, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai keluaran efikasi primer antara kelompok ticagrelor dan clopidogrel. Hasil tersebut juga konsisten dengan komponen individual dari masing-masing keluaran primer. Untuk parameter keluaran efikasi sekunder, juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok setelah 48 jam dan 30 hari.

 

Parameter keluaran efek samping primer (perdarahan mayor) terjadi pada hanya 1 pasien di kelompok ticagrelor waktu 48 jam dan tidak terjadi di kelompok clopidogrel (p= 0,50). Sementara itu, kejadian perdarahan minor juga tidak berbeda secara bermakna dalam waktu 48 jam. Namun, setelah 30 hari, kejadian perdarahan minor lebih sering terjadi pada kelompok ticagrelor, sebanyak 105 kejadian (11%), dibandingkan clopidogrel, sebanyak 71 kejadian (8%) (p = 0,0070). Kecenderungan serupa juga diamati pada kejadian perdarahan secara keseluruhan yang terjadi pada 110 kasus (12%) pada kelompok ticagrelor dan 73 kasus (8%) pada kelompok clopidogrel (p = 0,0039).


Berdasarkan analisis data uji klinis ALPHEUS, dapat disimpulkan walaupun potensi antiplatelet ticagrelor lebih tinggi dibandingkan clopidogrel, efikasi ticagrelor tidaklah lebih superior dibandingkan clopidogrel untuk menurunkan risiko infark miokardium periprosedural atau cedera miokardium berat dalam waktu 48 jam pada pasien PJK stabil yang menjalani PCI, namun disertai dengan risiko perdarahan minor setelah 30 hari terapi yang lebih besar pada pemberian ticagrelor dibandingkan clopidogrel. Uji Klinis ALPHEUS menyarankan penggunaan clopidogrel sebagai terapi standar untuk PCI elektif sebagai tambahan terhadap aspirin.



Gambar: Ilustrasi

Referensi:

Silvain J, Battuca B, Beygui F, Range G, Motovska Z, Dilinger J, et al. Ticagrelor versus clopidogrel in elective percutaneous coronary intervention (ALPHEUS): a randomized, open-label, phase 3b trial. Lancet. 2020; 396: 1737-44. 


Share this article
Related Articles