Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyebab chronic kidney disease (CKD) tersering di dunia. Manajemen CKD pada pasien dengan DM tipe 2 merekomendasikan kontrol hipertensi dan hiperglikemia, serta penggunaan renin- angiotensin system (RAS) blocker, seperti angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin-receptor blocker (ARB), dan sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitor.
Disfungsi ginjal dan kardiovaskular juga dapat disebabkan oleh peran patofisiologi overaktivasi reseptor mineralokortikoid. Pada penyakit kardiorenal, seperti CKD dan diabetes, terjadi peradangan dan fibrosis yang menyebabkan disfungsi ginjal dan kardiovaskular yang progresif. Hal ini menyebabkan penggunaan steroidal mineralocorticoid receptor antagonist dapat menurunkan protein urin atau albumin pada pasien dengan CKD. American Diabetes Association (ADA) telah memasukkan rekomendasi penggunaan finerenone sebagai tambahan terapi pada pasien DM tipe 2 dan penyakit ginjal kronis dengan albuminuria yang telah diobati dengan dosis maksimal ACE inhibitor atau ARB yang dapat ditoleransi.
Finerenone merupakan non-steroidal, selective mineralocorticoid receptor antagonist yang memiliki efek antiinflamasi dan antifibrotik yang lebih baik bila dibandingkan dengan steroidal mineralocorticoid receptor antagonist pada uji preklinis. Finerenone terbukti mengurangi urine albumin-to-creatinine ratio (UACR) pada pasien dengan CKD yang diobati dengan penghambat RAS.
Bakris, et al, melakukan studi Finerenone in Reducing Kidney Failure and Disease Progression in Diabetic Kidney Disease (FIDELIO-DKD). Studi ini merupakan fase 3, acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo, multisenter, yang meneliti penggunaan finerenone dapat memperlambat perburukan CKD dan mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan CKD lanjut dan DM tipe 2.
Studi melibatkan 5.674 peserta yang terbagi ke dalam kelompok finerenone (n=2.833) dan plasebo (n=2.841). Seluruh pasien mendapat ACE inhibitor atau ARB pada dosis maksimal yang tidak menyebabkan efek samping. Pasien pada kelompok finerenone mendapat dosis inisial 10 mg sekali sehari yang dapat ditingkatkan ke 20 mg sekali sehari, sedangkan pasien plasebo dapat menggunakan penyesuaian palsu untuk mengatur dosis tersebut.
Hasil penelitian terdiri dari dampak primer, dampak sekunder, dan analisis keamanan. Dampak primer adalah gabungan dari gagal ginjal, penurunan eGFR minimal 40% dari baseline selama minimal 4 minggu, atau kematian akibat penyakit ginjal. Dampak sekunder adalah gabungan dari kematian akibat kardiovaskular, infark miokard nonfatal, stroke nonfatal, atau rawat inap karena gagal jantung. Analisis keamanan terdiri dari kejadian tidak diinginkan (KTD) dan hasil laboratorium lainnya termasuk kadar serum kalium dan kreatinin. Hasil gabungan dampak primer menunjukkan jumlah kejadian yang lebih rendah pada kelompok finerenone yang signfikan bila dibandingkan kelompok plasebo. Hasil gabungan dampak sekunder juga menunjukkan jumlah kejadian yang lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan kelompok plasebo.
Selain itu, jumlah kejadian gabungan dampak sekunder pada ginjal (termasuk gagal ginjal, penurunan eGFR ≥ 57% dari baseline, atau kematian karena penyakit ginjal) pada kelompok finerenone lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan dengan plasebo (HR 0,76; 95%CI 0,65 hingga 0,90). KTD yang terjadi selama masa terapi serupa pada kedua kelompok dan plasebo, KTD serius terjadi pada 31,9% pasien kelompok finerenone dan 34,3% pada kelompok plasebo. KTD dan KTD serius terkait cedera ginjal akut serupa antara kedua kelompok. Kejadian hiperkalemia dua kali lebih sering pada finerenone (18,3%) bila dibandingkan dengan plasebo (9,0%) dan frekuensi hiperkalemia yang menyebabkan penghentian terapi lebih tinggi pada finerenone (2,3%) bila dibandingkan dengan plasebo (0,9%). Tidak ada efek samping hiperkalemia fatal yang dilaporkan.
Simpulan:
Berdasarkan penelitian, tambahan terapi finerenone pada pasien dengan DM tipe 2 dan CKD yang telah mendapat terapi ACE inhibitor atau ARB memiliki risiko lebih rendah untuk dampak primer (gagal ginjal, penurunan eGFR minimal 40% dari baseline selama minimal 4 minggu, atau kematian akibat penyakit ginjal) dan risiko lebih rendah untuk dampak sekunder (kematian akibat kardiovaskular, infark miokard nonfatal, stroke nonfatal, atau rawat inap karena gagal jantung). Melalui penelitian ini, finerenone efektif dalam memperlambat perburukan CKD bila dibandingkan dengan plasebo.
Gambar: Ilustrasi (Sumber: Nataliya Vaitkevich dari Pexels)
Referensi:
1. Bakris GL, Agarwal R, Anker SD, Pitt B, Ruilope LM, Rossing P, et al. Effect of finerenone on chronic kidney disease outcomes in type 2 diabetes. New England Journal of Medicine 2020;383(23):2219–29. DOI: 10.1056/nejmoa2025845
2. ElSayed NA, Aleppo G, Aroda VR, Bannuru RR, Brown FM, Bruemmer D, et al. 10. Cardiovascular disease and risk management: Standards of care in diabetes-2023. Diabetes Care 2023;46(1):158–90. DOI: 10.2337/dc23-S010