Berdasarkan World Health Organization (WHO) Child Growth Standard, stunting didefinisikan sebagai low height-for-age z (HAZ) dengan skor <2 standar deviasi (SD). Stunting berkaitan dengan asupan nutrisi yang insufisien untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan anak, yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit infeksi rekuren. Insiden stunting di Indonesia tahun 2018 adalah 30,8%. Angka ini masih jauh dari target WHO, yaitu 20%.
Pediatric enviromental enteropathy (PEE) disebutkan merupakan faktor penting dalam kejadian stunting, yaitu sindrom kronis yang menyebabkan inflamasi terus-menerus pada usus halus.
Pada anak stunting terdapat banyak bakteri patogen, sedangkan bakteri yang bermanfaat umumnya rendah. Ketidakseimbangan bakteri baik dan buruk ini menyebabkan inflamasi terus-menerus pada usus, yang dapat menyebabkan rendahnya kandungan short-chain fatty acid (SCFA) seperti acetate, propionate, dan butyrate, serta dapat meningkatkan pH feses. SCFA berperan penting dalam regulasi sel epitel intestinal, seperti dalam proliferasi dan metabolisme sel, diferensiasi sel, motilitas intestinal, memperkuat sawar intestinal, membentuk sistem imun mukosa, serta memperbaiki kemampuan asupan nutrisi dan status nutrisi. Kurangnya SCFA dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi, baik nutrisi makro maupun mikro, pada anak dan secara tidak langsung memengaruhi status nutrisi, laju metabolisme, dan nafsu makan anak. Oleh karena itu, anak yang mengalami stunting dengan disbiosis tidak bisa hanya dipulihkan dengan diet nutrisi, melainkan membutuhkan suplementasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotik untuk memodulasi komposisi mikrobiota tubuh yang bermanfaat.
Gunawan, dkk. (2021) melakukan studi acak, tersamar ganda, dan terkontrol plasebo, untuk membandingkan manfaat sinbiotik dengan plasebo pada anak stunting. Anak stunting usia <5 tahun dilibatkan dalam studi, kemudian dibagi menjadi kelompok sinbiotik dan plasebo. Kelompok sinbiotik (n=19) diberikan Lactobacillus plantarum 1 x 1010 CFU dan fructooligosaccharides (FOS) 700 mg dalam bentuk bubuk 1 gram diberikan 1 kali sehari selama 90 hari. Kelompok plasebo (n=20) diberikan susu skim bubuk 1 gram/hari. Tidak terdapat keluhan atau efek samping yang dilaporkan selama dan setelah intervensi. Tingkat kepatuhan cukup baik, yaitu rerata ≥80%. Ibu dari partisipan melaporkan bahwa selama masa studi, nafsu makan anak meningkat.
Hasilnya, kadar SCFA yaitu acetate, propionate, dan butyrate meningkat pada pemeriksaan sampel feses, dengan peningkatan kadar acetate ditemukan paling tinggi. Perbedaan pH feses antar kelompok juga signifikan lebih baik pada kelompok sinbiotik setelah intervensi selama 90 hari. Penurunan pH kolon ini disebabkan oleh adanya asam organik yang diproduksi oleh bakteri penghasil asam, sehingga membantu menstimulasi motilitas kolon. pH kelompok sinbiotik lebih rendah setelah intervensi, yaitu 6,31 ± 0,16, sedangkan kelompok plasebo 6,74 ± 0,41 (p=0,000). Status nutrisi partisipan membaik signifikan pada kelompok sinbiotik, yaitu perbaikan length-for-height for age z-score (HAZ), weight-for-age z-score (WAZ), dan weight-for-height z-score (WHZ).
Kesimpulan:
Berdasarkan studi didapatkan bahwa pemberian sinbiotik mengandung L. plantarum 1 x 1010 CFU dan FOS 700 mg selama 90 hari pada anak stunting usia <5 tahun mampu meningkatkan kadar SCFA, menurunkan pH feses, dan memperbaiki status nutrisi.
Gamba: Ilustrasi (Sumber: envato element)
Referensi:
Gunawan D, Juffrie M, Helmyati S, Rahayu ES. Effect of lactobacillus plantarum dad-13 and Fructo-oligosaccharides on short-chain fatty acid profile and nutritional status in Indonesian stunting children. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2021;9(B):1790–6. DOI: https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.7903