Endoscopic sinus surgery (ESS) merupakan salah satu strategi terapi utama untuk rhinosinusitis kronis yang tidak membaik dengan obat-obatan. Namun tindakan ESS tersebut sering menimbulkan terjadinya perlukaan pada mukosa dan komplikasi berupa pembentukan jaringan ikat atau perlekatan yang juga pada beberapa studi dipengaruhi oleh adanya reactive oxygen species (ROS).
Astaxanthin merupakan xanthophylls carotenoid yang ditemukan alami pada organisme hidup terutama pada lautan. Astaxanthin merupakan powerful quencher singlet oxygen, yang dapat meregulasi stres oksidatif, bekerja sebagai antioksidan poten. Astaxanthin tidak dapat diproduksi oleh tubuh, sehingga didapatkan dari makanan berwarna kemerahan seperti mikroalga, seafood, ikan dan lainnya. Astaxanthin memiliki efek positif dengan menekan inflamasi saat fase penyembuhan luka, serta meningkatkan ekspresi pro-kolagen tipe I, dan bFGF pada post operatif hari ke 1.
Studi eksperimental yang dilakukan oleh dr. Lavinia dan kolega ingin menilai efek astaxanthin pada proses penyembuhan luka pada mukosa nasal dibandingkan dengan dexamethasone. Studi dilakukan pada 63 tikus Wistar dengan berat 300 gram. Mukosa nasal dilukai dengan menggunakan metode brushing 10 mm yang dimasukan melalui nostril dan menyebabkan luka mekanis. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok eksperimental yaitu kelompok 1 dengan astaxanthin oral (100 mg/kg/hari selama 3 hari), kelompok 2 dengan dexamethasone (0,15 mg/kg/hari selama 7 hari) dan kelompok 3 yaitu kelompok kontrol dengan normal saline (0,15 mg/kg/hari selama 7 hari). Setiap 7 tikus dibunuh pada hari ke-5, 14 dan 28. Pemeriksaan histologi dilakukan selama 72 jam dengan 10% formalin.
Evaluasi hasil luaran yang dinilai adalah infiltrasi sel inflammatory, goblet, dan pembentukan sel siliari, ketebalan epitelia, ketebalan subepitelial, fibrosis subepitelial dan insiden adhesi/perleketan. Ketebalan epithelial dinilai dengan epithelial thickness index (ETI), ETI > 1,0 menunjukkan terjadinya hipertrofik epithelial. Ketebalan subepitelial dinilai dengan subepithelial thickness index (STI), STI > 1,0 menunjukkan terjadinya hipertrofik subepithelium. Derajat fibrosis dinilai dengan subepithelial fibrosis index (SFI), SFI > 1,0 menunjukkan terjadinya peningkatan fibrosis kolagen.
Dari studi pada hewan coba tersebut, didapatkan bahwa: Nilai ETI lebih tinggi pada hari ke-28 dibandingkan hari ke-5. Pada kelompok astaxanthin, ETI hari ke-28 memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan kelompok lainnya. Kelompok kontrol dan kelompok dexamethasone memiliki pola evolusi ETI yang mirip, berbeda dengan kelompok astaxanthin yang mengalami penurunan pada hari ke-28. Nilai STI pada hari ke-5 didapatkan hasil yang mirip pada kelompok kontrol dan deksametasone, namun secara signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok astaxanthin. Pada hari ke-14 dan 28, didapatkan trend peningkatan pada kelompok kontrol, berbeda dengan kelompok dexametasone dan astaxanthin yang secara konstan menurun. Nilai SFI menunjukan sedikit perbedaan antar kelompok, namun didapatkan nilai yang lebih rendah pada kelompok astaxanthin dan dexamethasone.
Berdasarkan studi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pemberian astaxanthin pada periode setelah terjadi perlukaan, secara signifikan menurunkan terjadinya fibrosis, menghambat pembentukan synechia dan secara signifikan menurunkan kejadian fibrosis subepithelial, tanpa memberikan efek toksik.
Gambar: Ilustrasi (sumber: BullionPhotos - www.freepik.com)
Referensi:
Manciula LG, Berce C, Tabaran F, Trombitaș V, Albu S. The effects of postoperative astaxanthin administration on nasal mucosa wound healing. J Clin Med. 2019;8(11):1941.