Detail Article
Penggunaan Pulse Oximeter bagi Pasien COVID-19
dr. Johan Indra Lukito
Jul 13
Share this article
807f20c197237009a27b4dbb5421863d.jpeg
Updated 28/Jul/2021 .

Penggunaan pulse oximeter bermanfaat untuk meningkatkan pemantauan dan tatalaksana pasien yang mengalami gagal pernapasan akut, termasuk ARDS (acute respiratory distress syndrome) pada COVID-19, mulai dari lingkup rumah hingga unit perawatan intensif. 


Berikut manfaat dari pulse oximeter:

·  Dengan pulse oximeter, dapat dilakukan pemantauan saturasi oksigen (SpO2) secara mandiri dari rumah, pemantauan SpO2 secara terus-menerus di bangsal rumah sakit, dan integrasi data SpO2 dalam sistem respirator oksigen dan ventilator mekanik.

·  Analisis bentuk gelombang oksimetri nadi dari hasil pulse oximeter dapat membantu mengukur upaya pernapasan dan mencegah penundaan intubasi.

·  Analisis hasil pulse oximeter juga dapat menunjukkan status perfusi perifer untuk memprediksi respons pemberian terapi cairan.


Selama pandemi COVID-19, terdapat laporan bahwa sebagian pasien mengalami hipoksemia berat tanpa disertai sesak napas, yang juga disebut "hipoksemia senyap/silent hypoxemia." Untuk antisipasi risiko tersebut, satu solusi yang diusulkan adalah edukasi pasien COVID-19 dengan gejala ringan yang memungkinkan untuk dirawat di rumah untuk memantau kadar oksigen dalam pembuluh darah arteri mereka dengan pulse oximeter di rumah dan segera minta bantuan medis jika hasil pulse oximeter menunjukkan hipoksemia.


Sebuah penelitian mengevaluasi saturasi oksigen (SpO2) yang diukur menggunakan pulse oximetri sebagai alat pemantauan mandiri di rumah untuk pasien dengan COVID-19 yang tidak parah untuk mengidentifikasi kebutuhan rawat inap. Pasien direkrut dari UGD dan pelayanan rawat jalan. Setiap pasien diberikan pulse oximetri dan diminta untuk mencatat SpO2 setiap delapan jam. Pasien diinstruksikan untuk kembali ke UGD jika SpO2 <92% secara berkelanjutan atau jika mereka merasa membutuhkan pertolongan medis. Risiko relatif digunakan untuk menilai hubungan antara kebutuhan rawat inap dan hasil SpO2 <92% pada pasien tersebut.


Penelitian ini melibatkan 77 pasien COVID-19. Rawat inap terjadi pada 22/77 (29%) pasien. Hasil SpO2 <92% dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan rawat inap dibandingkan dengan SpO2 ≥92% [RR 7,0 (95% CI 3,4 - 14,5), p <0,0001]. Hasil SpO2 <92% juga dikaitkan dengan peningkatan risiko masuk ICU, ARDS, dan syok septik. 50% pasien yang akhirnya dirawat di rumah sakit datang kembali ke UGD karena SpO2 yang rendah tanpa disertai memburuknya gejala. Sepertiga (33%) dari pasien yang tidak dirawat di rumah sakit menyatakan bahwa mereka akan kembali ke UGD jika mereka tidak memiliki pulse oximeter untuk meyakinkan mereka untuk tetap di rumah.


Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan pulse oximetri secara mandiri bermanfaat mengidentifikasi kebutuhan untuk rawat inap pada pasien COVID-19 yang tidak parah dengan menggunakan parameter SpO2 92%. Setengah dari pasien yang akhirnya dirawat di rumah sakit memiliki SpO2 <92% tanpa perburukan gejala. Pemantauan SpO2 melalui pulse oximetri secara mandiri juga mengurangi kunjungan ke UGD yang tidak perlu.


Image : ilustrasi (www.pexels.com)

Referensi:

1.  Michard F, Shelley K, L’Her E. COVID-19: Pulse oximeters in the spotlight. J Clin Monit Comput. 2020. doi:10.1007/s10877-020-00550-7

2.  Luks AM, Swenson ER. Pulse oximetry for monitoring patients with COVID-19 at home: Potential pitfalls and practical guidance. Ann Am Thorac Soc. 2020. doi:10.1513/AnnalsATS.202005-418FR 

3.  Shah S, Majmudar K, Stein A, Gupta N, Suppes S, Karamanis M, et al. Novel use of home pulse oximetry monitoring in COVID-19 patients discharged from the emergency department identifies need for hospitalization. Acad Emerg Med. 2020 Jun 17. doi:10.1111/ACEM.14053)


Share this article
Related Articles