Hati memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia seperti fungsi detoksifikasi zat-zat yang berbahaya bagi tubuh, fungsi metabolisme protein dan lemak, membentuk cairan empedu, membatu proses penyimpanan energi, membentuk protein fungsional dalam tubuh, memecah sel darah merah, menyimpan beberapa zat nutrisi dan lainnya.
Perlemakan hati atau fatty liver adalah kondisi dimana terjadi timbunan lemak berlebihan dalam hati. Adanya lemak dalam hati itu normal tetapi jika jumlahnya lebih dari 5%-10% dari berat hati maka dapat disebut sebagai fatty liver atau perlemakan hati. Berdasarkan penyebabnya fatty liver dibedakan menjadi dua, yaitu non-alcoholic fatty liver atau perlemakan hati non-alkholik dan alcoholic fatty liver atau perlemakan hati alkoholik.
Di Indonesia kebiasaan minum minuman beralkohol tergolong rendah, sehingga kejadian perlemakan hati yang lebih tinggi adalah perlemakan hati non-alkoholik. Diperkirakan 20% populasi dewasa mengalami masalah kesehatan ini meskipun tidak menimbulkan gejala. Penyebab perlemakan hati non-alkoholik 80% disebabkan karena obesitas atau kegemukan sedangkan penyebab perlemakan hati lainnya bisa karena diabetes, kehamilan, dislipidemia, keracunan, beberapa jenis obat, operasi bypass pada usus kecil, kurang gizi dan diet rendah protein.
Perlemakan hati lebih banyak terjadi pada orang dengan berat badan berlebih atau obesitas dan dikaitkan dengan kondisi resistensi insulin yang berperan dalam terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2. BMI atau indeks massa tubuh adalah pengukuran yang dapat meunjukkan kelebihan berat badan seseorang. Sindroma metabolik juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya perlemakan hati non-alkoholik. Sindroma metabolic terjadi bila tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, kadar kolesterol darah tinggi yang disertai obesitas. Sindroma metabolik juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah).
Perlemakan hati non-alkoholik pada awal perkembangannya tidak menunjukkan gejala yang dapat diamati dari luar. Beberapa gejala mungkin dapat dirasakan setelah seseorang memasuki stadium lanjut dari penyakit ini seperti pada sirosis hati. Oleh sebab itu skrining awal secara rutin perlu dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit hati agar pengobatan dapat dilakukan sedini mungkin sehingga belum masuk ke stadium penyakit lanjutan. Tes darah dengan pemeriksaan tertentu seperti HBsAg harus rutin dilakukan untuk menentukan penyebab penyakit hati lainnya, yaitu hepatitis B. Selain itu prosedur pencitraan seperti ultrasonografi, elastografi transien dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk langkah diagnosis penyakit ini.
Image: Ilustrasi (Photo by Karolina Grabowska from Pexels)
Referensi:
1. Elisabetta H, "Global burden of NAFLD and NASH: trends, predictions, risk factors and prevention". Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology. 15 (1): 11–20
2. Qian Y, Fan JG (May 2005). "Obesity, fatty liver and liver cancer". Hepatobiliary & Pancreatic Diseases International. 4 (2): 173–7. PMID 15908310
3. Nobili V, Carter-Kent C, Feldstein AE. The role of lifestyle changes in the management of chronic liver disease. BMC medicine. 2011 Dec 1;9(1):70.