
Pertusis (batuk rejan) umumnya menyerang anak-anak di bawah usia 10 tahun, tetapi jumlah dan proporsi kasus yang melibatkan orang dewasa meningkat selama dekade terakhir. Penyakit ini tampaknya sama menularnya di kalangan orang dewasa seperti pada anak-anak yang tidak divaksinasi. Di Kanada, kejadian pertusis meningkat empat kali lipat, dari 5 per 100.000 pada akhir 1980-an menjadi sekitar 20 per 100.000 dalam beberapa tahun terakhir. Di Amerika Serikat, tingkat kejadian juga meningkat empat kali lipat antara tahun 1990 dan 2001. Laporan resmi secara signifikan meremehkan jumlah kejadian yang sebenarnya, karena sebagian besar kasus tidak dilaporkan.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2024, kasus pertusis ditemukan di 132 kabupaten/kota di 26 provinsi di Indonesia. Peningkatan kejadian dan pergeseran demografis menunjukkan bahwa remaja dan orang dewasa kini menjadi reservoir utama pertusis di masyarakat. Hal ini karena kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi mulai menurun sejak usia 5 tahun.
Apa itu Pertusis?
Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Toksin dan faktor lain yang dihasilkan oleh bakteri ini bertanggung jawab atas gejala klinis penyakit. Dengan munculnya kembali pertusis di populasi yang sudah divaksinasi secara luas, penyakit ini tetap menjadi perhatian medis dan kesehatan masyarakat. Pertusis secara klasik berkembang dalam tiga tahap: katarral, paroksismal, dan konvalesen. Gejala awal seperti infeksi saluran napas atas ringan diikuti dengan episode batuk berat, sering disertai bunyi “whoop” saat menarik napas dan muntah pasca-batuk. Batuk dapat bertahan selama beberapa minggu. Demam biasanya tidak ada atau hanya ringan.
Orang yang sebelumnya telah divaksinasi atau pernah terinfeksi sering mengalami gejala yang lebih ringan. Pada bayi, penyakit ini bisa muncul secara atipikal dan dikaitkan dengan tingkat rawat inap dan kematian yang tinggi. Pneumonia dan rawat inap karena pertusis juga lebih sering terjadi pada lansia dan orang dengan penyakit paru-paru kronis.
Diagnosis dikonfirmasi dengan mengidentifikasi B. pertussis melalui kultur atau amplifikasi asam nukleat dari spesimen nasofaring, atau melalui serologi.
Antibiotik golongan makrolida adalah lini pertama yang direkomendasikan untuk pengobatan dan profilaksis. Imunisasi anak secara universal dengan vaksin aseluler pertusis disarankan, namun kekebalan dari imunisasi tidak bertahan lama. Kekebalan alami akibat infeksi sebelumnya maupun dari vaksinasi tidak memberikan perlindungan seumur hidup; sehingga, meskipun cakupan vaksinasi bayi tinggi, tetap terjadi peningkatan kasus global di kalangan remaja dan dewasa di negara maju.
Pertusis sangat menular dan dapat menyebar dengan cepat dari orang ke orang melalui droplet di udara saat batuk atau bersin. Studi menunjukkan bahwa satu orang yang terinfeksi dapat menularkan pertusis ke 12–17 orang lain yang rentan. Sebagai perbandingan, nilai R₀ (angka reproduksi dasar) pertusis lebih tinggi dibandingkan polio, cacar, rubela, gondongan, dan difteri.
Diagnosis Pertusis pada Orang Dewasa
Meskipun anak-anak telah divaksinasi, pertusis tetap endemik, sebagian besar karena kekebalan yang menurun. Mayoritas kasus pertusis kini bergeser dari anak-anak ke orang dewasa di negara-negara dengan program vaksinasi anak rutin. Walaupun penyakit ini biasanya lebih ringan pada remaja dan orang dewasa, prevalensi dan perjalanan penyakit pertusis pada orang dewasa dengan batuk akut belum banyak dideskripsikan. Menguji semua pasien dengan batuk untuk pertusis tidaklah realistis. Identifikasi klinis yang akurat dapat membantu mengarahkan tes lebih tepat, mencegah intervensi yang tidak perlu, dan menetapkan ekspektasi penyakit yang lebih jelas bagi pasien.
Suggested Case Definition for Pertussis
Beban Pertusis pada Orang Dewasa dengan Penyakit Kronis
Penyakit kronis dan kondisi medis umum lainnya dapat diperburuk oleh penyakit infeksi. Misalnya, studi di Skotlandia menunjukkan bahwa 30,4% orang usia 45–64 tahun, 64,9% usia 65–84 tahun, dan >80% usia >85 tahun memiliki setidaknya dua penyakit kronis. Maka dari itu, pencegahan penyakit infeksi di semua kelompok usia, terutama lansia, sangat penting untuk menjaga kualitas hidup.
Infeksi B. pertussis dapat berupa batuk ringan hingga penyakit berat yang berisiko fatal dengan komplikasi pneumonia, kejang, ensefalopati, dan gagal napas. Meskipun sebagian besar kasus berat terjadi pada bayi, manifestasi serius juga dapat terjadi pada orang dewasa. Banyak pasien dewasa yang dirawat karena pertusis memiliki penyakit penyerta, menunjukkan bahwa ini bisa memperparah keparahan penyakit. Di AS, antara 1990 dan 2004, tercatat 5 kematian terkait pertusis pada orang dewasa (usia 49–82 tahun), semuanya memiliki komorbiditas seperti diabetes, asma, multiple sclerosis, dan PPOK.
Kondisi umum pada pasien usia 12–20 tahun adalah asma dan gangguan imun, sementara pada usia 21–64 tahun adalah obesitas dan riwayat merokok, serta pada usia ≥65 tahun adalah asma dan penyakit jantung. Dua studi menunjukkan bahwa penderita PPOK memiliki risiko lebih tinggi terhadap diagnosis pertusis atau rawat inap akibat pertusis dibandingkan orang tanpa PPOK. Data dari Emerging Infections Program Network tahun 2011–2015 menunjukkan bahwa PPOK lebih sering ditemukan di antara pasien pertusis dewasa yang dirawat (19%) dibandingkan prevalensi umum PPOK di AS (6,4%).
Kesimpulan
Remaja dan orang dewasa dengan kondisi penyerta seperti asma, PPOK, atau obesitas memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi pertusis atau perburukan gejala. Imunodefisiensi dan kebiasaan merokok juga dikaitkan dengan gejala yang lebih berat dan peningkatan rawat inap. Pada pasien pertusis dengan riwayat asma atau PPOK, gejala cenderung lebih parah dan biaya perawatan kesehatan meningkat.
Selain penurunan kekebalan dan faktor lainnya, tidak adanya rekomendasi booster yang konsisten untuk dewasa turut berkontribusi terhadap kebangkitan kasus pertusis. Maka, vaksinasi penguat (booster) pertusis sepanjang hidup menjadi penting untuk mencegah infeksi dan penularan.
Rekomendasi Vaksinasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian vaksin DTaP (diphtheria-tetanus-acellular pertussis) pada usia 2, 4, 6 bulan, kemudian 18–24 bulan, dan 5–7 tahun. Dosis booster Tdap (dengan antigen lebih rendah) direkomendasikan pada usia 10 tahun.
Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional dan PAPDI menyarankan orang dewasa menerima satu dosis Td atau Tdap setiap 10 tahun. Wanita hamil disarankan menerima satu dosis Tdap setiap kehamilan.
Referensi
1. John Hoey. CMAJ • FEB. 18, 2003; 168 (4)
2. Kilgore PE, et al. Pertussis: Microbiology, Disease, Treatment, and Prevention. Clinical Microbiology Reviews July 2016 Volume 29 Number 3
3. Melvin JA, et al. Nature Reviews Microbiology. 2014; 12: 274–288
4. Tepee J, et al. British Journal of General Practice, October 2015. e663
5. Mbayei SA, et al. Severe Pertussis Infections in the United States, 2011–2015. Clinical Infectious Diseases® 2019;69(2):218–26
6. Jenkins AV, et al. Pertussis in high risk groups : an overview of the past-quarter century. HUMAN VACCINES & IMMUNOTHERAPEUTICS 2020, VOL. 16, NO. 11, 2609–2617
7. Cherry JD, et al. Clinical Definitions of Pertussis: Summary of a Global Pertussis Initiative Roundtable Meeting, February 2011. Clin Infect Dis. 2012 Mar 19;54(12):1756–1764
8. CDC. 2019 Final Pertussis Surveillance Report. https://www.cdc.gov/pertussis/downloads/pertuss-surv-report-2019-508.pdf. Accessed November 4, 2021.
9. Pertussis Surveillance Indonesia. Ministry of Health 2024
10. Pedoman Imunisasi Indonesia edisi 7. 2024