Detail Article

Pemberian Botulinum Toksin pada Terapi Alopesia Androgenika, Ini Dosis yang Efektif

dr. Della Sulamita
Feb 28
Share this article
06c8bc3305c8f75bf20e7cb34c4abd7a.jpg
Updated 01/Mar/2024 .

Androgenetic alopecia (AGA) adalah bentuk umum dari kerontokan rambut pada pria. AGA ditandai dengan mengecilnya folikel rambut, yang menyebabkan transformasi rambut terminal menjadi rambut velus. Kondisi ini mengenai 80% pria dan 40% wanita sebelum usia 70 tahun. AGA dapat berdampak pada kualitas hidup dan kepercayaan diri seseorang. 


Dilaporkan bahwa predisposisi genetik merupakan pemicu utama. Mikroinflamasi perifolikular dan stres oksidatif juga diakui sebagai faktor penting, karena stres oksidatif dapat menyebabkan perubahan morfologi, proliferasi, dan kematian sel-sel di papila dermal. Selain itu, area tipis pada AGA terjadi penurunan mikrovaskular dan kadar oksigen (O2), dan disebutkan bahwa testosteron paling efektif dikonversi menjadi dihidrotestosteron (DHT) dalam lingkungan rendah oksigen. DHT merangsang produksi transforming growth factor-beta 1 (TGF-ß1) pada sel papila dermal (DPCs), yang sangat penting untuk mencegah pembentukan sel epitel folikular. TGF-ß1, yang menginduksi apoptosis, menyebabkan fibrosis dan kekakuan pada kulit kepala.

 

Botulinum toxin tipe A (BTA) adalah neurotoksin yang berasal dari bakteri Clostridium botulinum yang menghambat kontraksi otot dengan menghambat pelepasan asetilkolin di persimpangan neuromuskular. BTA telah digunakan untuk mengobati berbagai kondisi otot dan neuromuskular serta untuk tujuan estetika. Pada AGA, suntikan BTA menyebabkan relaksasi otot kulit kepala, vasodilatasi pembuluh darah, dan potensial meningkatkan aliran oksigen (O2) ke area botak. Hal ini akan mengakibatkan penurunan DHT jaringan, yang menghasilkan pengecilan folikel yang lebih sedikit dan produksi serta sekresi TGF-β1 yang lebih sedikit.

 

Studi prospektif, cross-sectional, yang dilakukan oleh dr. Wael dan kolega, ingin mengevaluasi efektivitas dan keamanan penyuntikkan dua konsentrasi BTA yang berbeda untuk terapi pasien AGA yang berkunjung ke Rumah Sakit Universitas Memorial Souad Kafafi (SKUH), Mesir, dari Juni 2022 hingga November 2022. Efek terapi dinilai secara klinis dan dengan dermoskopi, dan hasilnya dilaporkan dalam rata-rata ± deviasi standar pada tingkat signifikansi <0,005. Studi melibatkan 32 pasien AGA dengan klasifikasi Norwood-Hamilton derajat I-VII atau klasifikasi Ludwig I-III. Sebelum terapi, vertex dibersihkan dengan etil alkohol 70% dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian kanan, mendapatkan BTA dengan dilusi 100 U per 3 mL. Bagian kiri mendapatkan BTA dengan dilusi 100 U per 4 mL. Setiap sisi bagian, terdapat 15 titik injeksi (jarak 2-3 cm) dan diinjeksikan BTA sebanyak 0,1 mL per titik. Setelah terapi, pasien tidak boleh menekan dan memijat area tersebut selama 6 jam, tidak berbaring selama 6 jam, dan menghindari olahraga serta panas matahari langsung.

 

Hasilnya:

· Riwayat keluarga dengan AGA ditemukan pada 65,6% kasus

· Didapatkan perbaikan yang signifikan pada parameter skala Ludwig, derajat 1 dari 14,8% sebelum terapi menjadi 70,4% setelah terapi (6 bulan) (p=0,001). Skala Norwood-Hamilton derajat 2 dari 0% sebelum terapi menjadi 60% setelah terapi (p<0,001)

· Pada pemeriksaan dermoskopi sebelum dan 6 bulan setelah terapi didapatkan perbaikan yang signifikan pada sisi kanan vertex

· Iritasi dilaporkan pada 12,5% kasus di sisi kanan vertex, sakit kepala dilaporkan pada 31,1% kasus, dan nyeri dilaporkan pada 3,1% kasus

· Sebanyak 56,2% pasien puas dengan hasilnya, dan 25% di antaranya merasa sisi kanan vertex didapatkan perbaikan yang lebih terlihat

 

Kesimpulan:

Injeksi botulinum toksin tipe A dengan dosis konsentrasi 33,3 Unit per 1 mL menunjukkan hasil perbaikan yang signifikan pada pasien dengan alopesia androgenika.

 

Gambar: Ilustrasi

Referensi:

Seoudy WM, Metwally OA, Elfangary MM, Mohamed TM. Assessment of efficacy of different botulinum toxin A concentrations in the treatment of androgenetic alopecia assessed by dermoscopy. J Cosmet Dermatol. 2024;23(2):417–25. 

Share this article
Related Articles