Resusitasi yang berhasil pada pasien dengan henti jantung, menimbulkan sindrom post henti jantung yang dapat terjadi dalam beberapa hari hingga minggu setelah sirkulasi kembali normal. Komponen-komponen pada sindrom ini adalah cedera otak, disfungsi miokardiak, iskemik sistemik, dan kondisi patologis yang menetap (misalnya, gangguan kognitif dan spastisitas).1,2 Cedera otak disebabkan oleh kondisi hipoksia-iskemik (oksigen sedikit dan aliran darah menurun oleh karena vasokonstriksi/penyempitan pembuluh darah) dan hiperinflamasi selama henti jantung dan atau beberapa jam setelah resusitasi.2 Cedera otak pasca henti jantung merupakan salah satu komplikasi mayor yang dapat menyebabkan disabilitas saraf jangka panjang dan koma atau gangguan kesadaran. Cedera otak ini berhubungan erat dengan sirkulasi darah yang rendah, kadar oksigen yang rendah, tekanan darah rendah, dan stres oksidatif.
Citicoline merupakan prekursor alamiah pada fosfatidilkolin membran sel yang utama. Fosfatidilkolin adalah fosfolipid saraf yang paling penting, salah satu komponen utama dari membran sel saraf. Sebagai obat eksogen, selain Citicoline membantu memperbaiki, memelihara, dan sintesis/membentuk kembali fosfatidilkolin yang rusak selama kondisi hipoksia-iskemik, Citicoline juga mampu meningkatkan asetilkolin (neurotransmiter utama pada fungsi saraf), menurunkan stres oksidatif, dan menormalkan sirkulasi darah untuk reperfusi otak dan sistem saraf.
Studi acak, case-control oleh Salamah A et al pada 80 pasien anak, usia 1-12 tahun dengan GCS 9 post henti jantung. Kelompok I (n: 40 pasien) diberikan pengukuran suportif standar dan 10 mg/kg/12 jam injeksi intravena citicoline, segera setelah stabilisasi tanda-tanda vital dalam 12 jam henti jantung. Kelompok II (n: 40 pasien) hanya diberikan pengukuran suportif standar. Intervensi ini berlangsung selama 6 minggu dan dievaluasi sebelum terapi dan 3 bulan pasca terapi, dengan pengukuran skor mRS (modified rankin scale), skor GCS (Glasgow Coma Scale), frekuensi dan durasi kejang, tingkat mortalitas, durasi rawat di PICU dan rumah sakit.
menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan pada skor mRS, skor GCS, frekuensi dan durasi kejang, lama rawat inap di PICU dan rumah sakit, juga tingkat mortalitas pada kelompok I di 3 bulan setelah terapi.
Pada studi ini, dapat disimpulkan bahwa pemberian 10 mg/kg/12 jam injeksi intravena citicoline segera setelah stabilisasi tanda-tanda vital dalam 12 jam henti jantung, selama 6 minggu pada 40 anak, usia 1-12 tahun dengan post henti jantung, secara signifikan memperbaiki disabilitas saraf (skor mRS), tingkat kesadaran (skor GCS), frekuensi kejang, durasi kejang, durasi rawat di PICU (hari), durasi rawat inap di rumah sakit (hari), dan tingkat mortalitas (%); dengan nilai p yaitu p <0.001, p =0.01, p =0.03, p =0.02, p =0.008, p =0.001, p =0.03.
Gambar : Ilustrasi (sumber: https://www.freepik.com/)
Referensi:
1. Salamah A, Mehrez M, Faheem A, Amrousy DE. Efficacy of citicoline as a neuroprotector in children with post cardiac arrest: A randomized controlled clinical trial. European Journal of Pediatrics. 2020.
2. Topjian AA, Caen Ad, Wainwright MS, Abella BS, Abend NS, Atkins DL et al. AHA scientific statement: Pediatric post-cardiac arrest care. Circulation. 2019;140:e194-233.