Detail Article
Suntik Botulinum Toksin, Apa Yang Harus Diperhatikan?
dr. Angeline Fanardy
Jul 24
Share this article
img-Angel1.jpg
Updated 09/Agt/2022 .

Botulinum toksin merupakan racun yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum yang pertama kali ditemukan oleh Tchtitchikine pada tahun 1905 yang menyebutnya sebagai substansi neurotoksin. BTX dapat bekerja dengan cara menghambat pelepasan asetilkolin pada ujung saraf. 

 

Penggunaan toksin botulinum di bidang kecantikan semakin meningkat dari terapi blefarospasme hingga memperbaiki kerutan. Evaluasi penggunaan BTXA (Botulinum Toxin Tipe A) secara acak, tersamar ganda, dengan kontrol-plasebo, pada pasien dengan kerutan glabella dan crow’s feet menyebabkan penggunaan BTXA untuk kasus kerutan semakin banyak. Selain itu, BTX juga banyak digunakan saat ini untuk memperbaiki kerutan perioral, marionette ines, nasal (bunny) lines dan poppy chin. Selain kerutan, BTX juga dapat digunakan untuk mengangkat alis, mata, kerutan di leher, dan banyak indikasi lainnya yang penelitiannya belum terlalu banyak.


BTXA tidak boleh diberikan dalam jumlah besar dan harus dilakukan dilusi terlebih dahulu. Dilusi dilakukan sesuai dengan informasi produk yang tercantum. Dilusi yang terlalu besar dapat menyebabkan instabilitas konsentrasi protein dalam nanogram. Selain itu, durasi respons dapat memendek karena konsentrasi toksin yang rendah. 


Pemilihan pasien merupakan tahap yang krusial untuk menghindari ketidakpuasan dari pasien. Semua pasien membutuhkan penjelasan yang lengkap mengenai prosedur BTXA dan alternatif prosedur lain yang bisa dilakukan. BTXA sebaiknya tidak digunakan untuk rejuvenasi wajah pada pasien dengan ptosis kelopak mata sejak awal atau yang pernah menjalani prosedur operasi yang dapat merubah atau melemahkan otot. 


BTXA tidak boleh digunakan pada ibu hamil dan menyusui. Pasien dengan kelainan neuromuscular seperti sindrom Lambert Eaton, sclerosis amiotropik atau miastenia gravis sebaiknya tidak diterapi menggunakan BTXA karena dosis rendah saja dapat menyebabkan krisi neuromuskuler. Penggunaan antibiotik terutama golongan aminoglikosida seperti streptomisin, gentamicin, neomycin, kanamycin karena obat-obatan ini dapat memengaruhi metabolise BTXA dan memperpanjang waktu paruh toksin. 


Jika digunakan untuk kasus hiperhidrosis BTXA harus dihindari pada pasien yang mengonsumsi obat-obatan yang dapat memengaruhi kerja BTXA atau meningkatkan risiko infeksi seperti siklosporin, polimiksin, tetrasiklin, lincomisin, penicillamine, quinine, antagonis kalsium dan anestesi lokal. 


Pasien-pasien dengan kondisi diabetes, kecanduan alkohol, polimiositis dan penyakit imunocompromise lainnya dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, injeksi BTXA untuk tujuan kosmetik atau hyperhidrosis sebaiknya dihindari pada pasien dengan kondisi-kondisi tersebut. Tindakan septik dan antiseptik juga harus dilakukan sebelum melakukan injeksi BTXA. Daerah injeksi harus didisinfeksi dan injeksi BTXA tidak boleh diberikan pada area yang memiliki banyak infeksi aktif. 


BTXA merupakan jenis toksin yang aman digunakan untuk indikasi kosmetik dan terapi hiperhidrosis sesuai dengan guideline, namun diperlukan perhatian khusus terhadap siapa yang akan diinjeksikan BTXA, terlebih untuk pasien-pasien yang memiliki riwayat medis khusus. 

 

 

Image: Ilustrasi (sumber: 

Referensi:

1. Wollina U, Konrad H. Managing adverse events associated with botulinum toxin type A. Am J Clin Dermatol 2006;6(3):141-50

2. Huang W, Foster JA, Rogachefsky AS. Pharmacology of botulinum toxin. J Am Cosmetic use of botulinum toxin. Acad Dermatol 2000; 43: 249-59

3. Carruthers A, Carruthers J. Cosmetic use of botulinum A exotoxin. Adv Dermatol 1997; 12: 325-47

4. Carruthers JA, Lowe NJ, Menter MA, et al. A multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study of the efficacy and safety of botulinum toxin type A in the treatment of glabellar lines. J Am Acad Dermatol 2002; 46: 840-9

 

Share this article
Related Articles